Pecat Sana Pecut Sini

PHK pada umumnya menjadi kabar tak mengenakkan, tetapi saya pernah mem-PHK karyawan yang saya nilai sudah tak krasan lagi bekerja di tempat saya dan rupanya fine-fine aja. Ya sebetulnya belum tepat disebut sebagai PHK karena statusnya memang belum karyawan tetap. Akan tetapi, yang mau saya ceritakan bukan istilahnya, melainkan suasana ‘pemecatan’ itu sendiri. Karena tampaknya yang bersangkutan ini tidak antusias bekerja, dipecat pun no problem; saya juga no problema. Cuma tertinggal rasa gemas hendak tertawa saja ketika yang saya pecat ini meminta saya membuat surat keterangan atau rekomendasi bahwa dia telah bekerja dengan baik di tempat saya. Ya amplop, ha nek kowé bekerja dengan baik kenapa mesti kupecat? Dhak pecut sisan kowé!😂😂😂

Bacaan-bacaan hari ini, seperti hari-hari kemarin, memberi harapan, juga lewat jalan pemecatan supaya kemacetan terurai. Bacaan pertama menunjukkan jalan yang pantas dititi orang beriman, bahkan meskipun tampaknya tak mengenakkan. Bacaan kedua mengisahkan penugasan dan pembekalan Guru dari Nazareth kepada murid-muridnya, termasuk untuk memecat roh-roh jahat yang membuat banyak orang mengalami kemacetan hidup. Menariknya, kemarin itu ada dirut yang dipecat dan malah karangan bunga berdatangan untuk lembaga yang melakukan pemecatan. Jenis pemecatan seperti ini tampaknya memberi secercah harapan bahwa bangsa ini sedang on track, hal yang sekian dekade pasca berakhirnya Orde Lama tak kunjung tiba.

Salah satu hal yang jadi rambu supaya hidup orang on track adalah kalimat terakhir bacaan kedua: kamu telah memperolehnya secara cuma-cuma, karena itu berikanlah secara cuma-cuma.
Lah, Rom, apa ada hal di bawah langit ini yang diperoleh secara cuma-cuma? Semua ada pamrihnya, semua ada costnya.
Ya soal itu sudah saya bahas pada posting Hari Gini Mana Ada Yang Gratis? Jadi saya tak akan membahasnya di sini. 
Dalam terang itu, baiklah setiap orang beriman melihat pemecatan di sana sebagai pemecutan di sini supaya tidak gelap mata mendapat durian runtuh, supaya amanah tidak berubah jadi aji mumpung, supaya kesejahteraan umum bisa perlahan-lahan diwujudkan. 

Memang aji mumpung tidak selalu negatif karena bergantung juga dari sudut pandang yang dipakai. Bisa saja Bang Thohir memakai aji mumpung untuk bersih-bersih BUMN atau Bang Joko memakai aji mumpung untuk ngebut dalam pengembangan SDM. Lalu persoalannya bukan lagi aji mumpungnya, melainkan perhentian terakhirnya ada di mana: pada kepentingan Bang Thohir dan Bang Joko atau pada kepentingan Indonesia.
Tentu masih ada satu lagi rambunya: apakah dari aji mumpung sampai perhentian terakhir itu Bang Joko dan Bang Thohir mendapat gratifikasi. Nah, itu ranahnya KPK. Saya cukup di sini saja mendukung pecat sana supaya setiap orang memecut diri sendiri untuk memberikan hidupnya kepada Allah lewat pelayanannya kepada sesama. Medali emas hanyalah konsekuensi pelayanan itu, bukan tujuannya. 

Tuhan, ajarilah kami kebijaksanaan-Mu juga untuk belajar memecut diri kami sendiri sebelum Engkau memecat kami sebagai manusia. Amin.


SABTU ADVEN I
PW S. Ambrosius
7 Desember 2019

Yes 30,19-21.23-26
Mat 9,35-10,1.6-8

Posting 2017: Move On Lagi
Posting 2015: Gunanya Jatuh Cinta

Posting 2014: Pintar Tanpa Cinta?