Sekitar dua tahun lalu saya pernah posting soal epistemic humility alias kerendahhatian képologis. Ideologi di balik itu ialah nobody knows everything about anything. Berarti, kalau seorang kepala negara dibilang (du bukan gě)rung paham Pancasila, sebetulnya ya tidak keliru-keliru amat sih. Lain soalnya kalau kepala negara tak paham Pancasila. Aneh. Kalau tidak ada orang yang paham Pancasila (nobody knows everything), siapa yang ‘berhak’ menilai bahwa orang lain tidak paham Pancasila? Filosofi ini mungkin mendasari pengelola bus PPD – Metro Mini [produk tahun berapa ya ini?] menempelkan stiker “Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului”.
Kalau orang merasa ‘berhak’ menilai orang lain tidak paham Pancasila, itu artinya dia menganggp diri paham Pancasila. Padahal, nobody knows everything about anything. Lha wong sama-sama rung paham Pancasila aja kok bisa-bisanya bilang orang lain tak paham Pancasila! Ya tentu saja bisa dikuantifikasi, bahwa yang satu lebih banyak pengetahuannya daripada yang lain; tetapi tentu bunyinya bukan orang lain tak paham, melainkan kurang paham; itu pun masih ada bau-bau arogansinya. Dalam teks bacaan pertama, orang macam begini termasuk salah satu yang bakal tersingkir pada saat Allah datang. Oh, saya salah, kualitas orang pencemooh nan arogan dan main hakim sendiri begitu akan dilenyapkan bersama dengan kedatangan Allah, entah orangnya bagaimana, mungkin ikut dihilangkan juga sih.
Saya tertarik pada narasi bacaan kedua yang rupanya juga cukup inspiratif sebagai metode untuk memahami Pancasila. Ceritanya dua orang buta terus membuntuti Guru dari Nazareth sambil berteriak-teriak memohon belas kasihan. Sampai Guru itu masuk ke dalam sebuah rumah, mereka tetap melanjutkan seruan mohon belas kasihan, minta kesembuhan. Akan tetapi, pertanyaan yang disodorkan Guru dari Nazareth menunjukkan paradigma yang menarik, yang disebut self-fulfilling prophecy: orang terlibat dalam kesembuhannya dan keterlibatan itu terletak pada imannya sendiri.
Salah seorang teman saya dipercaya orang punya kemampuan klenik. Ketika seseorang kehilangan kuncinya, ia datang kepada teman saya ini dan setelah mendapatkan keterangan secukupnya, ia meminta kliennya meminum air putih yang ditiupinya, lalu kembali ke tempat terakhir sebelum ia datang kepada teman saya itu dan mencari di trotoar. Betul saja, kunci itu ada di trotoar. Boleh percaya, boleh tidak, air putih ya tetaplah air putih, tetapi kepercayaan klien kepada teman saya itu memungkinkannya menemukan kunci yang hilang itu.
Pancasila dalam arti tertentu memang ‘kosong’, bukan karena tidak benar, melainkan justru karena saking benarnya. Supaya tidak ‘kosong’, sila-sila itu mesti diisi. Lha, siapa yang mengisinya? Ya kepala negara, ya warga negara, semuanya, dalam dialog, bukan dalam nyinyiran, bahkan penataran P4 sekalipun. Seperti bacaan kemarin, tidak semua yang berteriak-teriak sebagai pendukung Pancasila sungguh-sungguh adalah pendukung Pancasila. Bisa jadi bentuknya memang mendukung Pancasila, baik rumusan maupun aturan legalnya, tetapi kemunafikan kan bukan hak eksklusif kaum beragama. Ini karakter orang yang bekerja demi kelompok sektarian, cari selamat kelompoknya sendiri, selebihnya bisa dicocok-cocokkan dengan Pancasila. Kalau kepala negara jadi sektarian, tentu membahayakan warga yang bukan anggota kelompok sektarian itu, kan?
Tuhan, berilah kami rahmat kerendahhatian untuk saling belajar memahami Pancasila sebagai rahmat-Mu bagi bangsa kami. Amin.
JUMAT ADVEN I
6 Desember 2019
Posting 2018: Saat Kaki Terinjak
Posting 2016: Jakarta Puas?
Posting 2015: Hati Teroris
Posting 2014: T3M vs M3T
Categories: Daily Reflection