Tobat Tuan Prihatin

Tuan Prihatin yang baik, untuk tidak menyebut nama asli Gimin,
Sekarang Anda tahu betul bagaimana rasanya menantikan dengan rindu kedatangan sosok pribadi yang ternyata sudah mengunjungi tetangga kiri kanan depan belakang Anda. Ini meresahkan Anda kalau Anda punya kerangka pemahaman simbolik, kerangka yang melihat kenyataan multidimensional. Iya, what’s wrong with me? Mungkin itulah pertanyaannya, tetapi pertanyaan itu hanya mungkin muncul pada orang yang reflektif dan punya mental autokritik. Kalau tidak, pertanyaannya jadi what’s wrong with you atau with him/her

Empati dengan Anda memungkinkan saya belajar bagaimana menghidupi suatu seni menunggu. Dulu, sekian ribu tahun yang lalu, ada beberapa kelompok dalam masyarakat Israel yang masing-masing punya cara sendiri untuk menghidupi seni penantian itu. Ada yang menekankan ketaatan pada hukum. Ada yang melakukan gerilya kekerasan. Ada yang bersekongkol dengan penjajah, dan sebagainya.

Akan tetapi ada sosok yang begitu vokal menyerukan cara penantian yang terbukti ampuh di segala zaman. Sosok itu bernama Yohanes. Apa yang dia serukan? Kalimat imperatif: bertobatlah!

Empati dengan Anda memungkinkan saya belajar (kalau mau, silakan klik frase berikut:) bagaimana bertobat. Kelompok-kelompok yang ada dua ribuan tahun lalu itu menghidupi seni menunggu yang rapuh karena kalau dilihat dari (kalau mau silakan klik frase merah berikut:) bagan struktural, elemen receiver atau penerima objek pencarian mereka adalah kelompok mereka sendiri: partai mereka atau kerabat mereka sendiri. Bonum commune atau kesejahteraan umum belum ada dalam benak mereka karena individualisme begitu kuat, thanks to bangsa Romawi yang sukses mengkondisikan mereka supaya mereka sendiri tak punya nasionalisme yang kokoh.

Saya jadi sadar bahwa seni penantian mengandaikan disposisi orang yang terbuka pada agenda ‘yang lain’ dan bukannya malah memaksakan diri dengan agenda pribadi. Dari pihak saya dibutuhkan usaha yang tulus, bukan akal bulus untuk menebalkan bungkus.  Pada kebanyakan orang yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk let God do the rest, membiarkan Allah menjadi Allah yang sesungguhnya. Ini bukan disposisi yang mudah karena kecenderungan orang untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai pemegang kebenaran ilahi.

Mekanisme pengakuan dosa dalam Gereja Katolik tentu saja tak perlu dimengerti sebagai formalisme pengampunan Allah, seolah-olah Gereja Katolik adalah pemegang keputusan final kebenaran ilahi. Justru dalam pengakuan dosa itu orang diundang untuk membuka diri kepada agenda ‘yang lain’ dan dengan hati lapang menelanjangi diri dari bungkus-bungkus kemunafikan.

Begitulah Tuan Prihatin yang baik,
Tentu Anda tak perlu secara formal masuk dalam Gereja Katolik untuk mengakukan dosa sebagai langkah awal pertobatan Anda. Poinnya, kita semua perlu melucuti diri dari kepentingan narsis, apalagi yang jelas-jelas bisa mengorbankan banyak orang lain. Ini bukan soal kerugian finansial atau kerugian fisik semata, melainkan juga soal penistaan martabat manusia. Kok menista? Tentu, karena kita mengobjekkan orang, menganggap pribadi orang lain sebagai objek yang bisa dikuantifikasi dengan angka. Kalau Tuan begitu, yang Tuan lakukan itu… jahat.

Ya Allah, mohon kebeningan hati dan kejernihan budi supaya kami dapat sungguh bertobat dan terlibat dalam proyek keadilan-Mu. 


MINGGU ADVEN II A/1
4 Desember 2016

Yes 11,1-10
Rm 15,4-9
Mat 3,1-12