Kawin Lagi

Perkawinan dalam Gereja Katolik memang ribet dan mungkin dipandang tidak manusiawi. Tentu saja, orang memandang dengan kaca mata tertentu. Hari ini saya pandang dari puisi Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri. Cuma ada empat suku kata dalam puisi itu: win, ka, sih, ka, ku. Kawin dan kasih, kiranya jelas, tetapi winka dan sihka, saya tak tahu artinya. Bolehlah Anda mengartikannya perceraian dan kebencian sebagai konsekuensi pembalikan kata; saya tidak bisa melarangnya wong saya memang tak tahu artinya. Akan tetapi, mungkin justru karena itulah puisi itu dibuat Sutardji: membebaskan kata dari kungkungan makna yang dangkal.

Kawin dan kasih yang semestinya mengantar orang pada kebahagiaan bisa menjadi tragedi kehidupan ketika maknanya lenyap. Yang menarik saya adalah suku kata terakhir dari puisi itu yang bersama suku kata sebelumnya membentuk kata “kaku”. Problemnya, suku kata “ku” ditulis dengan huruf kapital. Kenapa puisi diakhiri dengan “Ku”?

Saya tidak ambil pusing dengan motif Sutardji. Saya tak membaca karya-karyanya. Maka, lihat saja struktur puisinya sendiri, yang membalik-balik kata “kawin” dan “kasih”. Suku kata penghubungnya adalah “ka”. Artinya, “ka” bisa dipasangkan dengan “win” dan “sih”, dan pada kenyataannya Sutardji membuatnya jadi “kawinkasihkaKu”. Tanpa “Ku”, yang terjadi ya bisa kasih, bisa kawin, bisa winka, bisa sihka. Nah, mulai kelihatan di sini bahwa tragedi itu jadi seperti lingkaran. Orang bisa kawin karena kasih, tapi kalau hanya berwacana di seputar perkawinan dan perkasihan, tragedi terus berulang: jadi winka, jadi sihka. Maka, bagimana memutus tragedi ini?

Gongnya adalah “Ku”, bukannya “ku”. Suku kata ini dalam arti biasa adalah bentuk singkat kata ganti empunya orang pertama. Kenapa diberi kapital? Entahlah. Akan tetapi, ini poinnya. Kalau gongnya “ku” sebagai kata ganti empunya orang pertama, “ka” yang jadi penghubung kasihkawin tadi jadi kaku. Alhasil, tragedi jadi lingkaran tak terputuskan karena orang yang terlibat dalam kasih dan kawin itu cuma punya satu acuan yaitu kepemilikannya sendiri, alih-alih kepemilikan Tuhan. Orang tak lagi mencari apa yang dimiliki Tuhan, apa yang diridai Tuhan. Hidupnya jadi kaku dalam tragedi tiada henti winka dan sihka.

Yosef dalam teks bacaan hari ini memberi teladan kebalikannya. Narasi mimpinya hanya hendak mengatakan bahwa Yosef sangat alert terhadap apa yang diridai Allah. Ia mengambil keputusan dengan mempertimbangkan kehendak Allah. Kawinnya dan kasihnya tak bermakna biasa seperti dipetik orang kebanyakan. Tragedi tak menjadi karena Yosef fokus mendengarkan hidayah Allah. Dalam Allah, hidup keluarga tak mengenal kutuk. Yang ada ya berkat. Menjadi kutuk ketika orang-orang di dalamnya berfokus pada kepentingannya sendiri.

Berapa persen dari mereka yang kawin dengan klaim kasih itu memberi peluang bagi Allah untuk masuk dalam prosesnya (memutuskan untuk menikah, pdkt, pacaran, tunangan, married, momong anak, dst)? Tak banyak, karena itu memang ribet.
Alhasil, kalau perkawinan Katolik itu dianggap ribet, yang pertama-tama perlu dilihat bukan prosedurnya, melainkan bahwa membuka diri pada hidayah itu sendiri ribet. Tragedi terjadi karena orang yang terlibat di dalamnya tak menempatkan Allah sebagai pusat hidupnya
.

Tuhan, semoga Engkau jadi yang terutama dalam hidup kami. Amin.


PESTA KELUARGA KUDUS: YESUS, MARIA, YOSEF
(Hari Kelima dalam Oktaf Natal Tahun A)
Minggu, 29 Desember 2019

Sir 3,2-6.12-14
Kol 3,12-21
Mat 2,13-15.19-23

Posting 2016: Antara Mimpi dan Kenyataan