Harapan Terakhir

Harapan dan kepercayaan kepada manusia senantiasa memuat kerentanan. PHP, baik peminta maupun pemberi harapan palsu, bukan barang langka. Karena itu, tak mengherankan, sebagian orang tidak kapok dengan harapan palsu. Saya punya teman asrama yang lucu. Ini ceritanya sebelum makhluk HP populer sehingga telpon di asrama itu laris manis. Tentu hanya ada satu telpon di asrama kami yang dihuni dua belas orang. Ketika telpon berbunyi, biasanya yang tinggal di kamar terdekat akan mengangkatnya lalu memanggil orang yang dituju penelpon.

Pada hari itu, teman lucu saya ini memang sedang mendampingi suatu proyek kegiatan dan komunikasi via telpon tentu menjadi penting. Ndelalahnya, memang pada hari itu banyak telpon masuk karena seperti dia, penghuni asrama lainnya juga punya kegiatan pendampingan. Akan tetapi, teman saya yang kamarnya paling dekat dengan telpon itu memang rupanya gemas dengan teman lucu saya. Sebutlah namanya Paimin. Ketika telpon berbunyi, ia mengangkat gagangnya dan berbicara sebentar dengan penelpon, lalu meletakkan gagang telpon ke meja sambil berteriak memanggil teman lucu saya,”Paimiiiiiiin, telpon!”
Tak berapa lama, Paimin berlari dari kamarnya menuju meja telpon. Ketika ia sudah dekat pada telpon, teman yang menerima telpon tadi berteriak,”Buat Paiman!”
Alhasil, Paimin cuma mringis, lalu memanggilkan Paiman yang tinggal di kamar sebelahnya.

Tak lama kemudian, telpon berbunyi lagi dan teman terdekat menerimanya, lalu menutup telpon, tetapi berteriak memanggil Paimin,”Paimin, ada telpon!”
Tak sampai lima detik, Paimin sudah muncul di ruang tempat telpon dipasang. Melihat gagang telpon terletak pada tempatnya, Paimin bertanya,”Loh, mana telponnya?”
Jawab teman tadi, “Lha itu di pojokan.”
Paimin mringis lagi,”Kok manggil aku? Itu telponnya nutup.”
Jawaban setelahnya,”Lha aku kan ya cuma bilang ada telpon.”

Itu perkara telpon. Masih banyak perkara lain yang menunjukkan bahwa teman lucu saya ini dengan lugunya menaruh kepercayaan dan harapannya pada teman yang gemas padanya. Sepertinya dia kebal PHP dan dikerjain teman yang gemas padanya tidak jadi kiamat sama sekali.
Saya ya terheran-heran kok dia mau-maunya digarapi teman-temannya dan tetap happy dengan mringisnya,”Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau jadi Paimin?” Jawabnya ringan.
Akan tetapi, pada momen serius, ia bisa menyodorkan jawaban yang cool: kalau aku mau dikerjain, itu toh karena memang sedang tidak ada pekerjaan yang penting dan mendesak. Tak ada ruginya. Kalau ternyata betulan ada telpon penting dan mendesak, aku tidak membuang-buang waktu. 
Saya jadi teringat argumentasi sederhana seseorang di hadapan ateisme: kalau memang Tuhan tidak ada, tak ada ruginya hidup bermoral, aku tetap happy; kalau benar Tuhan ada, aku tak membuang hidup di dunia ini. 

Teks bacaan hari ini menuturkan penantian Hana terhadap tanda sosok Mesias sebagai harapan terakhir. Kata “terakhir” tidak perlu dimengerti secara linear sebagai satu setelah hal lainnya, melainkan sebagai harapan yang mendasari hidup manusia yang rapuh. Sebagaimana teman lucu saya tadi, harapan terakhirnya membuat dia tampak dungu di hadapan yang lain tetapi menyimpan kebijaksanaan ala Paimin; dan karena itu ia happy sebagai tong sampah, sebagai bahan kegembiraan teman-temannya dan seterusnya.

Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk menaruh harapan terakhir pada-Mu. Amin.


HARI KEENAM OKTAF NATAL
30 Desember 2019, Senin

1Yoh 2,12-17
Luk 2,36-40

Posting 2017: Mbok Jadi Manusia
Posting 2015: Namanya Amaryllis bellavedova

Posting 2014: Kesalehan yang Gak Narsis

3 replies