Syukurin

Saya tak tahu apa yang Anda pikirkan ketika berangkat tidur sebelum pergantian hari baru atau kegiatan di hari baru. Saya biasanya mengikuti saran senior saya: let God do the rest, termasuk kalau tak ada hari esok bagi saya. Ini membuat saya gampang tidur di mana pun saya berada, entah setelah menonton tayangan premier league larut malam atau setelah tak bisa melanjutkan paragraf paper yang saya kerjakan. Kata bulik alias ibu cilik binti tante saya yang berjilbab (sering sebagai ganti helmnya #yaampun), kalau gampang tidur di mana-mana (mungkin termasuk di kelas perkuliahan atau di tempat ibadat), itu tanda hidupnya sumèlèh alias tenang dan pasrah kepada Allah. Amin, Bulik!

Tentu saja, itu hanyalah satu tanda. Tanda lainnya saya kira terletak dalam syair yang dibacakan pada hari ini (Mzm 96), antara bacaan pertama dan kedua. Saya tidak yakin bahwa ada orang yang gampang tidur tetapi tak punya rasa syukur. Menurut saya, syukur ini berbanding lurus dengan gampang tidur. Tetapi jangan Anda balik dengan menganggap bahwa mereka yang susah tidur itu hidupnya tak penuh syukur, meskipun ada benarnya juga sih.😂😂😂 Di sini perlu dipertimbangkan bahwa syukur tidak identik dengan membiarkan diri tidur dan mendapati esok paginya bentol-bentol atau bahkan terkena malaria. Syukur macam itu kok sepertinya naif ya.

Syukur yang diungkap dalam syair bacaan hari ini lebih berkenaan dengan apa yang telah dikerjakan Allah dalam hidup manusia. Itulah yang membedakan orang beriman dengan mereka yang mengklaim dirinya ateis atau beragama KTP. Orang-orang begini akan ‘bersyukur’ karena gaji naik, karena dapat jodoh, karena menang pemilu, karena terpilih sebagai menteri, karena sudah mendapat tempat ibadat baru, dan seterusnya.
Loh, bukannya itu wajar, Rom?
Lha iya èmbèr, wajar. Makanya saya bilang orang-orang beragama KTP atau yang mengklaim diri ateis itu ya bersyukur. Akan tetapi, amatilah apa yang disyukuri dan Anda akan menemukan perbedaan antara yang beriman dan ateis atau beragama KTP tadi.

Tentu saja, saya senang bahwa presiden ini mendapat perpanjangan. Saya juga pantas bersyukur karena masih bisa mengerjakan ini itu yang mungkin berguna. Wajarlah saya bersyukur karena ada kawan-kawan yang inspiring bagi pekerjaan saya.
Akan tetapi, sebagai orang beriman, sekali lagi, syukur saya dilandasi oleh keyakinan bahwa Allah telah mengerjakan ini itu dalam menopang hidup saya. Tentu saja, ini tak lain karena saya mengikuti prosedur pemeriksaan batin, examen conscientiae, atau examen of consciousness. Dalam doa macam itu, orang memandang hidupnya sebagai anugerah, orang beriman memandang dirinya sebagai noktah kecil dari samudera kehidupan yang dinaungi Allah. Alhasil, fokus orang beriman tidak terletak pada apa yang diperolehnya (terlalu banyak!), tetapi pada apa yang dikerjakan Allah demi hidupnya. Untuk itulah ia bersyukur! Maka dari itu, tadi saya katakan, ini membedakan orang beriman dari yang ateis atau yang beragama KTP. Orang beriman bersyukur karena ia boleh hidup bersama Allah (dan sebetulnya Natal ya cuma mau mengatakan itu, bukan untuk urusan kafir-kafiran).

Tuhan, semoga kami dapat menemukan keindahan hidup kami sebagai anugerah-Mu dan bersyukur atas keindahan itu. Amin.


HARI KETUJUH OKTAF NATAL
31 Desember 2019, Selasa

1Yoh 2,18-21
Yoh 1,1-18

Posting 2018: Terpaksa Ikhlas
Posting 2016: Lagu Akhir Tahun

Posting 2015: Good Bye, Ilusi
 
Posting 2014: Kapan Pangling kepada Dia?