Saya menutup akhir tahun 2018 dengan menonton Aquaman. Akhir tahun lalu saya tutup dengan menonton Ip Man 4: The Finale. Setelah menonton film itu, saya tidur selama setahun dan tak satu pun terompet atau petasan berhasil membangunkan saya. Syukurin….
Dengan segala hormat kepada para demonstran Hong Kong yang memboikot film ini lantaran menganggap orang-orang yang terlibat di dalamnya antidemokrasi, saya mesti jujur mengatakan bahwa demokrasi bukan segala-galanya. Mungkin demokrasi adalah sistem terbaik saat ini, tetapi toh bukan segala-galanya. Kalau mau segala-galanya demokratis, ujung-ujungnya ya cuma kuat-kuatan boikot, dan aneka macam kepentingan bisa masuk di situ, mulai dari kepentingan individual sampai ideologi negara.
Saya menonton Ip Man 4 bukan dalam rangka memahami konflik Hong Kong, melainkan karena saya suka film laga dengan teknik seni bela diri yang enak ditonton. Seri Ip Man termasuk di situ. Bahwa produser atau pemainnya antidemokrasi atau prodemokrasi, itu bukan poin saya, sebagaimana polisi yang menyerukan antinarkoba malah jadi manager sirkulasi narkoba atau seperti dalam Kitab Suci juga disinggung bahwa bukan setiap orang yang berteriak “Tuhan, Tuhan” adalah memang orang ber-Tuhan. Pokoknya, saya tidak sedang memberi ulasan ekstrinsik filmnya sendiri, melainkan membagikan apa yang saya peroleh dari unsur intrinsiknya yang kiranya berguna untuk 212 eh 2020.
Pesan antirasisme cukup kuat dalam film, baik di pihak Amerika maupun China. Meskipun film ini menarasikan konteks tahun 60-70an, rasisme toh masih hidup dalam kurun setengah abad sesudahnya. Dalam film dikesankan Amerika begitu rasis terhadap warga asing, lupa diri bahwa mereka sebetulnya pendatang. Sebaliknya, warga Tionghoa yang punya perkampungan sendiri, juga mesti mempersoalkan falsafah ghetto mereka: saling bantu melawan penindasan. Apakah itu buruk? Tidak. Buruknya ialah bahwa saling bantu itu mengerucut pada identitas tribal mereka sebagai warga Tionghoa dengan roh chauvinis. Bruce Lee, murid Ip Man, dianggap sebagai ancaman karena mau memperkenalkan warisan kultur kepada dunia, alih-alih sebagai jalan untuk membangun persaudaraan lintas ras, suku, dan bangsa. Arogansi tidak dikerangkeng dalam diri Amerika, tetapi juga menghidupi warga Tionghoa yang berparadigma chauvinis tadi.
Ending film menyodorkan resolusi yang inspiratif: setelah mendapati Yonah terbelenggu oleh tegangan tradisi dan identitas modernnya, Ip Man sadar bahwa akhirnya pendidikan mesti mengembalikan orang pada passion yang sungguh hidup dalam dirinya. Sadarlah Ip Man bahwa itulah yang sesungguhnya hidup dalam diri anaknya. Alih-alih memaksakan idenya untuk menyekolahkan anaknya ke Amerika, Ip Man mengajarkan wing chun kepada anaknya sendiri dengan harapan supaya mampu mengajari anak-anak lainnya setelah kelak Ip Man tiada.
Hari Raya Santa Maria Bunda Allah, tak perlu ditangkap dengan modal arogansi berpikir bahwa tak mungkin Allah punya bunda. Bukan itu poinnya, melainkan bahwa sebagai ibu, Maria berkemampuan membesarkan anaknya untuk mewujudkan jati dirinya, alih-alih menuruti apa kata orang. Maria menyimpan dalam hatinya perkara-perkara yang semestinya menjadi bisnis Allah dan orang yang beriman kepada-Nya. Kerahiman Allah tecermin dalam tindakan iman Maria yang semestinya jadi undangan bagi semua untuk menjalani hiruk pikuk 2020 dengan hati yang terpaut pada passion kerahiman Allah. Amin.
HARI KEDELAPAN OKTAF NATAL
Hari Raya Santa Maria Bunda Allah
Rabu, 1 Januari 2020
Bil 6,22-27
Gal 4,4-7
Luk 2,16-21
Posting 2019: Bukan Tahun Baru
Posting 2018: Hidup Baru
Posting 2017: Damai Aja Bang
Posting 2016: Tahun Haram
Posting 2015: Pernah Serius Mikir?
Categories: Daily Reflection
,,Eh 2020 he he he..
Selamat memasuki tahun baru 2020 Pak.
LikeLike
Iya sama2 Bu’.
LikeLiked by 1 person