Tidaklah elok di tengah-tengah kesusahan warga korban banjir-akibat-curah-hujan-yang-tinggi ini menyindir gubernur yang cuma menyelesaikan 16 dari yang semestinya 33 km normalisasi Ciliwung. Lebih elok mengatakannya langsung. Itulah yang disampaikan menteri Basuki, kalau berita pada tautan ini benar. Saya masih ingat gubernur ini menyokong naturalisasi dan tidak antusias pada normalisasi. Akan tetapi, kalau terbukti wilayah sekitar normalisasi sungai terbebas dari banjir, tidaklah masuk akal sehat menyatakan bahwa seberapapun lebar sungai, banjir tetap terjadi, kecuali kalau sungainya di Jogja dan banjirnya di Jakarta. Tak ada gunanya menyalahkan curah hujan atau air kiriman kalau normalisasi sungai tak dilanjutkan.
Saya bukannya cinta mati sama normalisasi sungai, tetapi sepuluh tahun saya berteman dengan banjir di Jakarta karena tempat tinggal saya hanya terpaut sepuluh meter dari bibir sungai. Alhasil, dengan modal berpikir anak SMP pun saya mengerti bahwa lebar sungai jelas berpengaruh. Perkara gusur menggusur, taruhlah itu sebagai perkara keadilan, tetapi kenyataannya ya cuma soal siapa penggusurnya saja. Tidak mau jadi penggusur ya perhaluslah dengan penggeser. Pokoknya, lebar sungai tujuh meter jelas berbeda dari lebar sungai 25 meter dan perbedaan itu signifikan. Mengabaikan hal ini hanyalah pertanda kemunafikan, menggiring publik pada kebodohan ide banjir kiriman (Allah) sebagai penutup kelalaian!
Kemarin saya dikejutkan seorang anak balita yang terjatuh karena tersandung rekahan lantai di sebuah warung bakso di Indonesia. Di tengah tangisan anak itu saya mendengar ibunya memarahinya dan memberi nasihat moral: makanya kalau makan itu antěng alias tidak pecicilan bin banyak tingkah. Betul kan nasihat itu? Tidak keliru. Akan tetapi, ibu itu menyalahkan pihak lain lebih daripada mengakui kelalaiannya! Entah anaknya pecicilan atau tidak, ia lalai memperhatikan anaknya karena ia asik ngobrol dengan penjual baksonya! Orang beriman sebaiknya meniru Ip Man yang saya paparkan kemarin: mengakui diri lalai dan berjiwa besar untuk berubah dan melihat martabat pribadi orang lain juga.
Teks bacaan hari ini bicara mengenai sosok Yohanes Pembaptis yang sungguh tahu diri sebagai pelayan pribadi yang lebih agung. Ia tak berlagak sebagai penyelamat, karena Allahlah penyelamatnya. Ini berbeda dari mereka yang anti-Kristus, yaitu yang berlagak sebagai penyelamat. Ini bukan lagi soal doktrin agama Kristen, melainkan soal perilaku hidup. Menyangkal Anak dan Bapa bukan soal menyangkal doktrin agama, melainkan soal menyangkal koneksi yang ilahi dengan yang insani. Sebagian besar orang beragama tentu tidak menyangkal koneksi itu, cuma lalai. Hasilnya ya sama: mengorbankan kemanusiaan.
Barangkali orang beriman perlu memaknai naturalisasi secara baru, bukan sebagai tameng kemunafikan, melainkan upaya menyerap insight ilahi supaya kemanusiaan memang adil dan beradab. Orang beriman membuat agamanya natural dan bukannya malah melalaikan yang natural demi mengabdi ideologinya sendiri sebagai penyelamat. Maka, orang beriman juga waspada terhadap anjuran untuk tidak menyalahkan siapa-siapa sebagai tameng kelalaian. Artinya. kalau saya bilang,”Saya tidak menyalahkan siapa-siapa!” itu bisa berarti juga tidak menyalahkan kelalaian saya sendiri?😂
Banjir memang bukan momen untuk saling menyalahkan, melainkan tamparan keras untuk introspeksi diri mereka yang tugasnya mencegah. Lha kalau tugasnya mencegah jebulnya bengong di musim kemarau dan nimbrung waktu banjir, hanjuk kepriben?
Tuhan, mohon rahmat rendah hati supaya kuasa-Mu ternyatakan dalam kemanusiaan yang adil dan beradab. Amin.
HARI BIASA MASA NATAL
PW S. Basilius Agung dan Gregorius dari Nazianze
2 Januari 2020, Kamis
Posting 2019: Tahu Diri
Posting 2018: Manete in me
Posting 2017: Akulah Kebenaran?
Posting 2016: Mana Suaranya?
Posting 2015: Mau Menyuarakan Apa atau Siapakah?
Categories: Daily Reflection