Tahukah Anda bahwa keadilan dalam Islam hanya ‘kalah’ dari prinsip tauhid? Keadilan menjadi tolok ukur utama keislaman sejauh orang beriman menghayati prinsip tauhid. Mengenai prinsip tauhid ini, kerap kali orang memikirkannya dengan kategori kuantitatif sehingga mesti mempertentangkannya, entah secara langsung atau tektok, dengan pandangan tritunggal dalam kekristenan atau trimurti dalam hinduisme. Apakah memang prinsip itu seharusnya didekati dengan paradigma kuantitatif, God knows.
Yang saya yakini, kalau Allah dikerangkeng dalam paradigma kuantitatif, Ketuhanan YME dalam Pancasila benar-benar mbèlgèdhès dan arogansi agama impor sungguh dikompori. Saya ingat sejak SD diberi info soal animisme-dinamisme yang dipertentangkan dengan agama. Saya juga mawas diri pernah menganggap orang-orang zaman old menyembah berhala dengan pemujaan di bawah pohon rindang tanpa saya sungguh mengerti apa yang ada dalam benak mereka. Adilkah menilai pihak lain tanpa koneksi dan pemahaman yang memadai?
Romo ini gimana, kan ya jelas kalau mereka memuja arwah leluhur di bawah pohon rindang itu berarti menduakan Allah? Itu penyembahan berhala!
Olo olo oloooo…. hambok sabar dulu; mesti diurai apa maksudnya penyembahan dan berhala, bukan?
Kalau menilik prinsip tauhid dan keadilan tadi, bukankah keadilan adalah tolok ukur bahkan buah prinsip tauhid? Apakah Anda menyebut bertauhid sementara Anda berlaku tidak adil? Apakah Anda sungguh menyembah Allah sebagai satu-satunya sesembahan manakala pilihan dan keputusan Anda tidak adil? Dengan kata lain lagi, apakah penyembahan itu soal gerak-gerik tubuh atau soal sikap dasar orang terhadap kehidupan bersama?
Ya dua-duanya, Rom.
Bagus, begitulah Anda ditipu oleh agama!
Mari kita lihat teks bacaan hari ini yang menuturkan bagaimana Yohanes Pembaptis merujuk Mesias. Ditegaskannya bahwa ia membaptis dengan air, tetapi Mesias membaptis dengan Roh Kudus. Tahukah Anda siapa yang meneruskan kebiasaan Yohanes Pembaptis?
Ya orang-orang Kristen dengan segala aliran selokannya. Baptisan dengan air itu, gerak-gerik tubuhnya, entah dengan semprotan atau dalam kolam renang, tidak lain dari inisiasi alias tahap awal orang masuk dalam kelompok tertentu. Yesus masuk dalam kelompok Yohanes Pembaptis dengan gerak-geriknya ditenggelamkan di air. Akan tetapi, menurut Yohanes Pembaptis sendiri, ia justru akan membaptis dengan Roh Kudus.
Nah, celakanya, sebagian pengikut Yesus itu ceritanya mau ikut-ikutan membaptis dengan Roh Kudus tetapi dipaksakan dalam konteks inisiasi ke dalam kelompok mereka sendiri. Ironis, bukan? Roh Kudus yang merdeka itu hendak dijadikan tameng untuk mengklaim keabsahan selokannya sendiri.
Kalau mengikuti prinsip tauhid dan keadilan dalam Islam tadi, baptisan Roh Kudus justru terjadi ketika orang digerakkan untuk memperjuangkan keadilan: membawa kabar baik kepada orang-orang miskin, kemerdekaan para tawanan, penglihatan orang buta, kebebasan orang tertindas, dan sejenisnya. Ini bukan lagi soal menginisiasi orang ke dalam kelompok agama, melainkan soal mewujudkan kinerja Roh Kudus yang memerdekakan kemanusiaan. Tak ada jalan selain keadilan.
Kalau keadilan tak dihargai, tanya Augustinus seorang uskup,”Apakah negara itu kalau bukan gerombolan besar perampok?”
Tentu, itu tak cuma soal negara, tetapi juga agama. Maka, kalau orang ingin baptisan roh, apa pun agamanya, ia menuntut dirinya berperilaku adil.
Ya Allah, berkenanlah menuntun kami dalam keadilan dengan Roh Kudus-Mu. Amin.
HARI BIASA MASA NATAL
Jumat, 3 Januari 2020
Posting 2019: Agama Nan Ramah
Posting 2018: Ge Er Dikit Bolehlah
Posting 2017: Oh Guru Agama
Posting 2015: Orang Beriman Itu Telmi
Categories: Daily Reflection