Ini cerita lucu di suatu tempat ibadat Katolik yang muncul di benak saya ketika mengikuti sajian berita yang menyorongkan komentar gubernur dan menteri. Dalam ibadat Jumat Suci itu dinyanyikanlah teks kisah sengsara Yesus. Nyanyian ini disebut passio. Biasanya ada empat penyanyi untuk memerankan tokoh-tokoh dalam kisah sengsara itu. Nah, ada satu bagian lagu yang menjelaskan bahwa sebelum ayam berkokok, Petrus sudah menyangkal Yesus tiga kali. Akan tetapi, seorang penyanyi melantunkan melodi dengan lirik yang keliru.
“Lalu Petrus berkokok.” Ada jeda di situ, dan umat sebetulnya sudah tahu bahwa itu keliru, tetapi tak satu pun yang mempersoalkannya apalagi menertawakannya.
Narator itu melanjutkan lagunya dengan satu kata yang membuat semua jadi tertawa.
“Ayamnya…”
Ketika seorang presiden mengatakan bahwa banjir disebabkan oleh kerusakan ekologis dan perilaku manusia sendiri, di antaranya membuang sampah sembarangan, muncullah jurus silat lidah dari gubernur,”Lha mana sampahnya? Bandara tergenang tapi gak ada sampah tuh.” Haiya simbah saya pun tahu bahwa sampah itu menyumbat saluran air sehingga airnya meluap dan luapannya sampailah ke bandara. Kalau sampahnya, yang mungkin sekian puluh ton, semua bisa ke bandara sih, pastinya gada banjir, Bang!
Secara lugu, menterinya memberi klarifikasi,”Kalau maksudnya sampah di bandara memang nggak ada. Namun yang sebabkan [banjir] sampah di sungai dekat situ, itu yang dimaksud presiden.”
Pak menteri ini halus sekali orangnya seakan-akan merepresentasikan toleransi pemerintah pusat terhadap pemdanya. Kok tidak dikatakan bahwa sampahnya tidak di bandara, tetapi di kantor gubernur ya?
Tertawa di tempat ibadat tidak harus jadi tabu. Sebaliknya, tertawa di hadapan tragedi kemanusiaan, mungkin perlu ditabukan. Menurut saya, tidaklah elok orang yang punya wewenang dan tanggung jawab malah mencari kamuflase untuk meringankan beban tanggung jawabnya sendiri. Anak-anak senang mandi hujan dan bermain di kolam (yang memang sesuai dengan kampanyenya itu) barangkali membuat hati terenyuh. Akan tetapi, apakah yang membuat hati terenyuh itu layak diwujudkan dengan mengorbankan entah berapa mobil, bangunan, bahkan nyawa manusia?
Maksud saya, mbok ya sudahlah Bang, mawas diri saja. Debat normalisasi vs naturalisasi itu bukan perkara kebenaran. Bisa jadi itu cuma pelarian supaya Anda tak usah repot bekerja. Benarlah kata menteri itu: mau normalisasi, mau naturalisasi, hambok ya sudah kerjakan saja pembebasan lahannya. Normalisasi gak mau, melanjutkannya dengan naturalisasi juga gak jalan. Apa malah bukannya ini sampahnya?
Teks bacaan hari ini mengundang orang untuk mencari kebenaran dalam tindak mengikuti jalan Allah. Ini bertolak belakang dengan persoalan sampah penyebab banjir. Kalau tidak ditemukan di bandara, sampah mungkin didapati menumpuk di pintu air, atau di kantor gubernur tadi. Akan tetapi, biang sampah adanya di hati dan budi orang yang tidak connect dengan penderitaan orang lain atau memanfaatkan penderitaan itu sebagai tameng agenda politik busuk.
Tak mengherankan, ketika ditanya tinggalnya di mana, Guru dari Nazareth itu menjawab,”Ayo ikut dan lihat saja!” Kata “lihat” dalam teks itu tidak dirujuk sebagai penggunaan indra. Orang melihat bukan dengan mata, melainkan dengan seluruh kerjanya. Learning by Nyemplung begitulah.
Tuhan, berilah kami kekuatan untuk mengambil peran supaya keadilan-Mu menjadi nyata dalam hidup bersama kami. Amin.
HARI BIASA MASA NATAL
4 Januari 2020, Sabtu
Posting 2019: Lowongan Guru
Posting 2018: Mesias Palsu
Posting 2017: Come and See!
Categories: Daily Reflection