Hari ini Gereja Katolik Indonesia merayakan epifani (Yunani: ἐπιφαίνω, epiphaino) yang berarti menampakkan diri. Diri siapa? Di Italia sono, ini dirayakan pada tanggal 6 Januari. Di Indonesia cincailah hari Minggu terdekat. Ada apa dengan 6 Januari?
Untuk itu kita perlu sedikit tahu tentang apa yang disebut winter solstice (baca: sälstəs) atau soltizio (baca: solstitsio) d’inverno. Syukur kalau Anda ingat pelajaran SMP mengenai garis edar matahari di bumi yang digambarkan seperti garis gelombang melalui ekuator. Untuk wilayah tropis efek winter solstice memang tak terasa, tetapi untuk wilayah beriklim dingin atau sedang, itu akan kelihatan dari lamanya siang atau malam hari. Winter solstice menandai lebih singkatnya siang hari. Musim dingin resmi dimulai. Katakanlah ini terjadi di utara ekuator pada tanggal 21-22 Desember.
Nah, sekitar tanggal 6 Januari itu rupanya malam gelap panjang winter solstice mulai kelar, seakan-akan matahari mulai bangkit, lahir kembali. Maka, terjadi epifani, terang menampakkan dirinya dari balik kegelapan. Ini bukan perayaan eksklusif agama, wong itu ya alamiah; di banyak tempat kiranya momen winter solstice dirayakan juga. Di China, misalnya, sepertinya mereka merayakannya dengan semacam wédang rondé dalam festival tahunan mereka. Di Inggris, masih ada perayaan lentera kertas di Amesbury (kompleks Stonehenge) dan Brighton. Yang menarik, di Iran katanya ada festival Yalda, yang berarti ‘lahir’: pesta kemenangan terang atas kegelapan.
Pesta soltizio d’inverno ini sudah ada tiga abad sebelum tarikh masehi. Kaisar Aurelianus membakukan perayaan itu sebagai pujian kepada matahari yang tak terkalahkan (bahasa Latin: sol invictus). Tanggalnya bervariasi, tetapi tak melenceng jauh dari 25 Desember sampai 6 Januari. Bukan soal pujian kepada matahari, pesta itu dirayakan sebagai epifani bin penampakan terang yang menang atas kegelapan.
Ketika Constantinus berkuasa, perayaan itu tetap dilakukan sebagai kemenangan terang atas gelap, tetapi terangnya bukan lagi terang material yang direpresentasikan oleh matahari, melainkan terang dari surga bin tian binti langit. Nah, karena Constantinus itu memeluk kekristenan, tentu terang itu merujuk pada Kristus, yang menerangi hati dan budi orang. Kalau dia memeluk Islam atau Yahudi, saya kira terang itu adalah Alquran dan Torah, karena dua hal itulah yang juga diyakini memberi pencerahan kepada umat. Terang itu, entah dipersepsi sebagai Kristus, Alquran, atau Torah, dan lain-lainnya, tak lain adalah cinta Allah yang tanpa syarat.
Teks bacaan hari ini memperlihatkan dua respon terhadap cinta tak bersyarat itu. Respon umat beriman dicontohkan oleh tiga orang majus. Mereka memberi teladan untuk menundukkan hidup bukan di bawah kepemimpinan politik, melainkan dalam tuntunan terang batin. Konon, 60 tahun setelah peristiwa kunjungan mereka, tiga orang itu bertemu lagi di Sebaste (Armenia) untuk merayakan Natal. Ndelalahnya, pada 1 Januari, Melkior meninggal (berumur 116 tahun); dilanjutkan meninggalnya oleh Baltazar pada 6 Januari setelah berumur 112 tahun dan Kaspar menutupnya pada 11 Januari dengan usia 109 tahun. Peninggalan mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Begitulah legendanya.
Penulis Matius rupanya akrab dengan teks jadul (Bil 22-24, ceritanya sangat menarik) mengenai ahli “tenung”, magi, semacam dukun, yang diminta raja Balak untuk mengutuk bangsa Israel saat itu, tetapi orang “majus” (begitulah diterjemahkan julukan magi, para “sarjana” Persia) itu malah memberkati Israel. Apa daya, alih-alih mengecam Israel, Bileam malah mengucap berkat bagi Israel. Bileam memakai kalimat “bintang terbit dari Yakub”, yang oleh bangsa Israel waktu itu diasosiasikan dengan dinasti Daud.
Penulis Matius rupanya menyangkal tafsiran itu karena sangat terikat pada kehebatan dunia tontonan, sebagaimana dari zaman ke zaman mesti muncul orang hebat yang dipandang mengungguli orang-orang hebat sebelumnya. Tiga orang majus itu merepresentasikan manusia segala ras dan usia: Anda dan saya.
Anda diundang meneladan sikap iman tiga orang majus itu, dan perlu segera saya tambahkan bahwa ini bukan soal menjadi pemeluk agama tertentu, melainkan soal mengarahkan pandangan hidup pada bintang sesungguhnya: cinta Allah yang tanpa syarat itu.
Kalau tidak, Anda punya pilihan tanggapan seperti Herodes dan komplotannya yang tentu membela status quo. Lha wong punya kuasa: begini juga gapapa, banjir ya biasa, anak-anak juga senang main air, Anda tak usah ganggu posisi saya, sekarang kita utamakan bantuan kepada korban (yang muncul karena keteledorannya!), tak usah bahas tindak preventifnya sekarang.
Herodes menghalalkan segala cara, termasuk silat lidah. Baginya, tak apa-apa seluruh kota menanggung kematian anak-anak mereka, yang penting tak ada yang mengganggu kekuasaannya.
Sebetulnya teks ini jadi sindiran keras buat siapa saja yang punya kuasa dalam level apa pun, yang tidak memakainya untuk melayani kelompok orang terlemah, tetapi untuk melayani egonya atau kelompoknya sendiri. Penderitaan orang banyak tidak menampar mukanya karena matanya silap oleh tontonan kesuksesan materi.
Tuhan, mohon rahmat untuk senantiasa berjalan dalam cinta-tak-bersyarat-Mu karena itulah sumber kebahagiaan hidup kami. Amin.
HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN
Hari Anak Misioner Sedunia
Minggu, 5 Januari 2020
Yes 60,1-6
Ef 3,2-3a,5-6
Mat 2,1-12
Posting 2019: Terancam
Posting 2018: Hidayah AMDG
Posting 2017: Bintangku Bintangmu
Posting 2016: Museum Allah
Posting 2015: Pesta Para Pencari Tuhan
Categories: Daily Reflection