Sering agama jadi tak menarik, bukan karena agamanya sendiri tak menarik, melainkan karena perilaku orang-orangnya. Ini bukan soal bahwa orang-orang beragama tak bermoral, melainkan bahwa mereka sendiri mengkhianati apa yang mereka promosikan. Misalnya, mereka menegaskan bahwa tak ada pemaksaan dalam agama, tetapi pada saat yang sama menyodorkan gagasan surga-neraka sebagai momen penghakiman terakhir. Apakah itu bukan laksana perangkap tikus, memberi makanan lezat dan setelah itu menggencet tikusnya dengan ujung-ujung pisau runcing?
Lha ya beda, Rom, kan agama menawarkan makanan lezat dan kalau orang memakannya, ia malah terbebaskan dari ujung-ujung pisau runcing itu!
Persis itulah maksud saya, bahkan Anda menganggap ujung-ujung pisau runcing itu tiada. Menurut saya, agama yang demikian itu lebih jahat karena membuat orang bahkan tak sadar bahwa tubuhnya sedang terhimpit ujung-ujung pisau runcing itu.
Saya tidak akan melupakan kampanye busuk dengan memanfaatkan agama beberapa tahun lalu. Anda benar-benar bebas, tidak dipaksa untuk memilih Tiwal. Akan tetapi, kalau Anda memilih Tiwul yang tak seagama itu, Anda tak akan didoakan saat mati kelak. Mati kowé! Anda terpaksa bebas memilih Tiwal (ironis gak sih?) karena menganggap sentimen agama lebih penting daripada urusan perut bersama. Pada saat itulah Anda beragama dengan modal orang kecanduan, sudah tak bisa lagi berpikir jernih, seperti tikus yang kehilangan kecerdasannya. Kecanduan agama tidak hanya menyerang pemeluknya yang berpendidikan rendah, tetapi juga yang pendidikannya tinggi.
Jadi, kecanduan agama bukan soal rendahnya kecerdasan yang terukur dengan sertifikasi atau indeks akademis, melainkan soal kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual. Jangan lupakan bahwa sebagian dari mereka yang terlibat dalam fanatisme agama adalah orang-orang yang ber-IQ tinggi dengan prestasi akademik juga tinggi.
Pesan pertobatan dari teks bacaan hari ini tentu saja bukan supaya orang menurunkan IQ-nya, merendahkan prestasi akademiknya atau mengurangi kecerdasannya. Bertobat justru berarti meningkatkan kecerdasan itu sebisa mungkin tetapi dalam koridor “Kerajaan Allah”. Ini memang terminologi dari kitab suci Kristen, tetapi sebetulnya tidak berbeda dari cita-cita ukhuwwah Islamiyyah. Persoalannya, sebagian orang beragama maunya mengidentikkan “Kerajaan Allah” seperti kekristenan sebagai agama negara zaman jebot dan sebagian lagi mengidentikkan ukhuwwah Islamiyyah sebagai keseragaman agama Islam dalam satu negara-dunia utuh. Alhasil, kecerdasan orang beragama menjumpai ironinya: mengklaim there is no compulsion or coercion in religions (karena semua rahmat, hidayah Allah sendiri) tetapi di sana-sini memaksa orang untuk begini begitu sedemikian rupa sehingga orang beragama tak lagi merasakannya sebagai paksaan.
Jalan keluar pertobatannya cuma tersedia pada relasi pribadi (tidak sama dengan privat) orang beragama dengan Terang, yang kemarin saya istilahkan sebagai cinta-tak-bersyarat Allah. Dalam relasi itu perintah agama menjadi panggilan, bukan lagi paksaan. Memeluk agama juga jadi tawaran, bukan ancaman. Di situ, orang bisa paham bahwa dia tidak jadi Katolik hanya karena ke gereja setiap minggu atau bahkan setiap hari. Dalam kesadaran itu, orang bisa paham bahwa dia sungguh jadi Islam bukan hanya karena sudah menjalankan lima rukun Islam. Pertobatan berhulu hati berhilir gerak-gerik. Kebanyakan orang beragama mengira pertobatan berasal dari perubahan gerak-gerik.
Ya Allah, mohon rahmat mawas diri, pertobatan untuk menemukan jalan kepada-Mu. Amin.
HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
Senin, 6 Januari 2020
1Yoh 3,22-4,6
Mat 4,12-17.23-25
Posting 2019: 80 Juta Saja
Posting 2016:Mulai dari Kamu… Ya Kamu
Posting 2015: Gantian Dong
Categories: Daily Reflection