Juga meskipun Anda bukan gubernur, janganlah khawatir apakah orang mendukung atau melawan Anda (karena dukungan atau perlawanan itu bisa jadi cuma sentimen pribadi), tetapi waspadalah kalau-kalau Allah benar-benar bersama Anda dalam segala hal yang Anda lakukan.
Loh, bukannya malah bagus kalau Allah benar-benar bersama kita? Kita tak bersusah ini itu dan Allahlah yang mengerjakannya?
Justru itulah, sebaliknya! Kalau Allah sungguh bersama Anda, Dia takkan membiarkan Anda jadi juara lari dari tanggung jawab sosial Anda!
Anda tahu mengapa saat lampu merah di persimpangan jalan, kendaraan-kendaraan bermotor bisa-bisanya berhenti. Pertama, karena direm. Kedua, karena pengemudinya takut tabrakan. Ketiga, karena pas mesinnya mogok bersama. Keempat, karena terlihat ada polisi di tepi jalan.
Begitu jugalah dengan banjir. Pasti alasannya banyak. Selain karena air senangnya mengalir ke tempat yang lebih rendah dan ekosistem penyerap air semakin minim di hulu, bangunan-bangunan beton di hilir bisa jadi menghambat aliran air ke tempat yang lebih rendah. Tentu, cuaca ekstrem bisa ambil peran. Banjir tak lagi melulu perkara alam, melainkan persoalan sosial. Di situ power berpengaruh.
Saya tak ingat apa judul film yang klipnya mengisahkan bagaimana pemerintah Italia gagal membujuk seseorang yang tinggal di daerah rawan letusan gunung api. Warga itu tetap berdiam diri pada zona yang diprediksi menjadi tempat mampirnya lahar gunung api. Dialognya menarik, mengesankan kebijakan warga itu. Akan tetapi, terlihat betul bahwa pemerintah tetap menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab. Sepertinya warga itu akhirnya mati, tetapi ia tak mungkin menyalahkan pemerintah. Bahkan, saudara-saudaranya tidak melakukan class action karena mereka tahu benar bahwa pemerintah sudah menjalankan prosedur yang menjadi ranah wewenang mereka.
Teks bacaan hari ini mengundang pembaca untuk sadar akan peran dan tanggung jawabnya sendiri kalau ia sungguh mau hidup bersama Tuhan. Semakin beriman, semakin orang bertanggung jawab secara sosial. Dalam teks bacaan pertama disodorkan alasannya: karena ia sudah terlebih dulu dicintai Allah.
Pada kebanyakan orang beragama, alasan itu tak diterima. Mereka ribet dengan aneka gerak-gerik dan kesibukan sana-sini supaya memperoleh cinta Allah. Mereka seakan lupa bahwa mereka bisa melakukan aneka gerak-gerik dan tindakan heroik karena ada suplai oksigen gratis! (Gitu kok ya bisa-bisanya bilang Tuhan tiada; padahal itu baru perkara oksigen) Kelupaan itu membutakan orang beragama narsistik seperti itu sehingga targetnya cuma mencari keselamatan sendiri atau keselamatan kelompoknya sendiri.
Dalam teks bacaan kedua semakin jelas perkaranya: cinta Tuhan yang disimbolkan dengan lima roti dan dua ikan itu mestilah jadi bagian tanggung jawab umat beriman. Lagi, kalau ia mengklaim hendak hidup bersama Allah dengan segala firman-Nya, ia mesti mengeluarkan lima roti dan dua ikannya.
Lima roti dan dua ikan ini untuk setiap kelompok tentu berbeda. Anda yang membuang sampah sembarangan di jalan atau di sungai tidaklah elok melakukan class action terhadap gubernur karena banjir. Class action tidak dibuat karena like-dislike terhadap penguasa, tetapi karena terbukti penguasa lalai menjalankan tanggung jawabnya. Akan tetapi, kalau like-dislike Anda itu muncul karena secara objektif penguasa lalai, kiranya class action makin joss.
Ya Allah, mohon rahmat kesadaran supaya cinta-Mu nan agung membuat kami semakin mampu mengambil tanggung jawab sosial. Amin.
HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
Selasa, 7 Januari 2020
Posting 2019: Mari Kenduri
Posting 2016: Rebutan Hidayah
Posting 2015: Siapa Bilang Allah Mahakuasa?
Categories: Daily Reflection