Iqra’

Kemarin sudah disinggung bahwa hidup bersama Allah ‘memaksa’ orang beriman mengambil peran dan tanggung jawab sosial. Orang beriman tak bisa melantunkan doanya sebagai tuntutan supaya Allah memenuhi keinginannya sendiri. Hambok bayangkan orang mengaku beriman tetapi hidupnya mengalami keambyaran rohani: hari Jumat ke masjid, hari Minggu ke gereja, hari biasa salat lima waktu di rumah, misa harian di kapel, njuk di sela-sela itu bermain bersama dukun dengan segala jimatnya, berapa pun uang dikeluarkan; toh ujung-ujungnya juga demi uang yang lebih banyak lagi. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa Allah mahakuasa sementara ia cinta uang dan berdukun ria?

Keambyaran spiritual ini sangat mungkin terjadi karena orang tak belajar dari kata pertama wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad: iqra’, yang menurut KBBI merupakan kata perintah yang berasal dari kata kerja qara’a (membaca). Ini tentu bukan pertama-tama soal membaca huruf yang tersurat, melainkan reading between the lines. Ketika orang beriman membaca yang tersirat, ia mendapati mana hal yang pantas ditindaklanjuti dan mana yang perlu dihindari.

Teks bacaan hari ini menarasikan bagaimana Guru dari Nazareth menyendiri segera setelah peristiwa spektakuler terjadi: memberi makan sekitar lima ribu mulut dengan modal lima roti dan dua ikan. Tak perlulah memperdebatkan apakah memang betul lima roti dan dua ikan untuk lima ribuan perut, tetapi baik diperhatikan apa yang sudah diulang pada paragraf pertama tadi: orang beriman tidak menyalahkan hukum Allah, tetapi mengambil tanggung jawab sosialnya sendiri. Syukurlah, pengikut Guru dari Nazareth itu telah mengambil tanggung jawab mereka.

Meskipun demikian, teks bacaan hari ini membuat pembaca ragu apakah memang pengikut Guru dari Nazareth itu telah mengambil tanggung jawab mereka. Soalnya, pada kalimat akhir dikatakan bahwa setelah peristiwa spektakuler itu mereka belum juga mengerti, hati mereka tetap degil. Dengan begitu, menjadi jelas bahwa para murid pun saat itu belum ngeh dengan iqra’. Mereka terpaku pada peristiwa spektakulernya, tetapi tidak membaca pesan tersembunyinya. Tak mengherankan, mereka masih hidup dalam asumsi sebagai pusat dunia yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain. Dalam kisah ini, mereka takut bahwa keganasan alam merenggut hidup mereka, seakan-akan hidup ini milik mereka atau properti yang harus mereka kuasai atau tundukkan.

Guru dari Nazareth meminta orang banyak untuk pulang (tidak nginthil bin ngikut dia ke mana-mana) dan ia lalu berdoa sendirian bukan karena hendak lari dari tanggung jawab sosialnya. Tidak dikatakan bahwa Guru dari Nazareth ini bermeditasi dengan mata terpejam. Bisa jadi ia melakukannya, tetapi pokoknya pada momen kesendiriannya itu ia tetap awas terhadap keadaan sekeliling. Ia melihat bagaimana para muridnya bersusah payah melawan badai angin sakal. Kiranya itu juga termasuk dalam perintah iqra’. Doa tidak lagi terbatas pada kesalehan ritual atau kesucian individual, tetapi juga pembacaan keadaan sekililing dalam hubungannya dengan suatu kehidupan di hadirat Allah: hidup bersama yang bernafaskan cinta Allah sendiri.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk membaca pesan-Mu dalam dinamika hidup bersama kami. Amin.


HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
8 Januari 2020, Rabu

1Yoh 4,11-18
Mrk 6,45-52

Posting 2019: A Friend in Deed
Posting 2016: Tak Ada Iman Bermodal Ndableg

Posting 2015: Buat Apa Takut?