Dalam bahasa simbolik tak terjadi pertukaran kata alias komunikasi sesuatu mengenai kata, tetapi komunikasi sesuatu dalam kata itu. Kalau Anda dituntut ke meja hijau karena tak becus melakukan mitigasi bencana, Anda tak bisa meremehkannya dan menganggap paling-paling tukang kayunya kehabisan cat selain yang berwarna hijau. Ini bukan perkara warna, melainkan soal pelanggaran hukum. Naiflah kalau Anda berdebat atau melawan karena meja yang Anda hadapi ternyata berwarna coklat!
Begitu pula, kalau Anda berdiskusi mengenai mitigasi bencana banjir, misalnya, Anda tak perlu berdebat mengenai normalisasi atau naturalisasi, hulu atau hilir, karena keduanya adalah juga soal pelebaran sungai. Kecuali, kalau dengan sengaja Anda mempersoalkannya, mungkin itu cuma langkah untuk lari dari tanggung jawab. Sekalian, bisa Anda tambahkan langkahnya: meyakinkan orang bahwa bencana banjir adalah kehendak atau suratan Allah sendiri. Kalau itu dirasa belum cukup, katakan saja bahwa mitigasi bencana itu jangka panjang, pemerintah mesti fokus pada penanganan bantuan kepada para korban. Bukankah membantu mereka yang jadi korban adalah bagian dari perintah agama?
Yak tul, syukur Anda tambahkan bahwa mitigasi bencana itu bukan program Anda, melainkan program atasan Anda. Semakin kentara bahwa Anda sedang membangun citra dalam diri korban, yaitu mereka yang tak sadar diri sedang mengalami pembodohan.
Pembodohan tidak hanya terjadi dalam ranah politik, tetapi juga dalam ranah agama. Pelakunya bisa jadi memang bodoh, yang tidak bisa membedakan antara bahasa simbolik yang membutuhkan interpretasi dan bahasa juklak atau juknis yang memosisikan pembaca atau pendengarnya sebagai robot yang tinggal terima perintah. Orang macam ini mendengar tapi tak mengerti, melihat tapi tak memahami. Keyakinan iman tak lebih dari kumpulan kepercayaan akan takhayul, entah memakai gambar suci atau aji-aji. Tak ada sambungan antara teks suci dan hidupnya sendiri, apalagi hidup sekeliling. Agama tak lebih dari ikatan peer group.
Akan tetapi, bisa juga pelaku pembodohan dalam agama itu orang pintar. Nah, kalau pelaku pembodohan dalam agama itu orang pintar, artinya dia sedang berpolitik dengan memanfaatkan agama yang diklaimnya sendiri. Orang pintar itu juga tidak selalu adalah pemuka agama. Bisa jadi dia pembelakang, tetapi berlaku seakan-akan sebagai pemuka. Maka dari itu, orang pintar ini juga ujung-ujungnya malah jadi bodoh. Kenapa? Karena ia mengira bahwa agama sejati bisa diperalat sehingga berlagaklah ia sebagai pembela atau pejuang agama, bukan pejuang sesuatu yang ditunjukkan oleh agama. Sudah pernah saya sitir, kan, kata-kata Anthony de Mello “Orang bodoh itu alih-alih melihat bulan, cuma melihat jari telunjuk yang mengarah ke bulan”?
Teks yang dibacakan Guru dari Nazareth dalam bacaan hari ini tentu sudah diketahui pendengarnya, tak ada yang baru: mewujudkan keadilan Allah. Mereka yang mengerti bahasa simbolik membenarkan komentar Guru dari Nazareth sebagai kata-kata indah. Yang tak paham bahasa simbolik terpesona pada sosok Guru dari Nazareth itu tetapi lupa pada keadilan Allahnya sendiri, lalu malah berkonflik ria, entah sebagai pembela Guru dari Nazareth atau sebagai penuntutnya. Padahal, Guru dari Nazareth itu maunya semua pendengarnya mewujudkan keadilan Allah. Apa mau dikata, juga dalam agama, masih banyak kebodohan.
Ya Tuhan, ajarilah kami kerendahhatian-Mu. Amin.
HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
9 Januari 2020, Kamis
Posting 2019: Kabar Gembira Hikmat
Posting 2016: Iman Jelangkung
Posting 2015: Mau Alih Profesi?
Categories: Daily Reflection