Beberapa tahun lalu Paus Fransiskus pernah melontarkan pernyataan kontroversial. Kalau saya sadur jadinya kurang lebih begini: lebih baik jadi ateis daripada orang beragama munafik, tak punya integritas. Tentu maksudnya bukan mengajak orang untuk jadi ateis. Lha ya ngapain, wong juga tidak ada jaminan bahwa jadi ateis njuk hidupnya pasti berintegritas. Kalau begitu, jadi ateis tapi tak berintegritas juga sama saja sami mawon.
Ya beda, Rom, kalau ateis kan gak ada yang nyuruh doa, ke gereja, ke masjid, puasa, amal, dan sebagainya.
Lha yang nyuruh doa orang beragama ya siapa?
Lha Romo lupa, ada lima perintah Gereja, ada lima rukun Islam! Itu apa kalau bukan nyuruh?
Rumusannya memang ‘perintah’, tetapi perintah itu pada dasarnya bersifat undangan, karena yang disasar adalah hati orang. Hanya orang yang hidupnya tak punya integritaslah yang menerima rumusan ‘perintah’ sebagai command dalam bahasa pemrograman komputer: mau gak mau harus melaksanakannya seturut yang diinginkan instansi lain di luar hatinya.
Orang seperti itu, kalau beragama, malah menjalani hidup ganda (double life). Paus Fransiskus memberi ilustrasi begini: I am very Catholic, I always go to Mass, I belong to this association and that one; but my life is not Christian, I don’t pay my workers a just wage, I exploit people, I am dirty in my business, I launder money …’ A double life. And so many Christians are like this, and these people scandalize others.
Tentu maksudnya bukan cuma untuk orang Katolik; yang lainnya pun punya risiko yang sama untuk menjalani hidup ganda, alih-alih hidup berintegritas. Akan tetapi, apa ada sih di bawah kolong langit ini orang yang integritasnya terjamin 100%, yang senantiasa seiya sekata, yang kata dan perbuatannya senantiasa satu?
Teks bacaan kedua hari ini menyodorkan bagaimana orang kusta punya keyakinan bahwa kalau Guru dari Nazareth itu mau menyembuhkannya, ia pasti dapat menyembuhkannya. Cukup dengan kemauan, kemampuannya akan mengikuti. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Begitulah kiranya ide di balik keyakinan orang kusta itu. Memang betul, Guru dari Nazareth mau menyembuhkannya dan ia sembuh. Akan tetapi, apakah setelah sembuh ia jadi manusia yang berintegritas? Entahlah. Ia diminta menghadap pemuka agama supaya menyatakannya sembuh, tetapi rupanya malah berkoar-koar sebelum sampai pada pemuka agama. Tentu tak perlu dihakimi sebagai manusia yang tak punya integritas karena datanya minim sekali dari bacaan hari ini.
Akan tetapi, kisah orang sakit kusta itu sendiri sudah mengindikasikan adanya fenomena hidup ganda dalam sejarah agama. Betapa tidak, kata senior saya, waktu itu agama mengucilkan orang kusta. Kenapa? Ya karena semua mantra dan jampi-jampinya tak mempan, njuk jalan keluarnya ialah menyingkirkan orang yang dianggap kena tulah itu. Agama menjalani double life: mengklaim diri sebagai rahmat Allah bagi manusia, tetapi mengucilkan orang yang justru membutuhkan rengkuhan agama. Guru dari Nazareth membongkar double life dalam hidup beragama.
Ya Allah, mohon rahmat keberanian untuk membangun hidup yang utuh, yang melulu bersumber dari cinta-Mu. Amin.
HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
10 Januari 2020, Jumat
Posting 2019: Kesepian
Posting 2016: Tukang Cukur Tuhan
Posting 2015: Temuilah Dokter Cinta
Categories: Daily Reflection