Kesepian

Seorang temin berkomentar terhadap posting kemarin kurang lebih begini: Apalah artinya hikmat tanpa tobat, tahu-tahu kejedot. Temin saya ini memang penggemar huruf ‘t’ di ujung kata, tapi tentu taja temang tetul tahwa tikmat tanpa tobat tiada artinya. Krik krik krik…
Teks hari ini menunjukkan paradoks yang diajarkan Guru dari Nazareth kepada seorang penderita kusta atau lepra. Pada waktu itu, kusta merupakan penyakit ‘orang miskin’ dan membuat orangnya kesepian. Maklumlah, teknik pengobatan belum begitu canggih. Orang tak mau ketularan penyakit, tapi tak bisa menyembuhkan penyakitnya. Jadilah orang kusta itu dijauhkan dari kontak dengan masyarakat. Kesepian, kan? Tidak cukup berhenti di situ, kalau terpaksanya ia bertemu orang, dia harus berdeklamasi yang isinya menyatakan bahwa ia sakit kusta sehingga orang lain tahu dan bisa menjauh darinya. Ia mesti mengondisikan dirinya kesepian!
Orang kusta itu masuk dalam situasi pengabaian dan degradasi, kesepian dan bisa jadi kemarahan.

Hal itu klop dengan anggapan masyarakat bahwa seorang kusta diabaikan oleh Allah, kena azab Allah, dan sejenisnya. Singkatnya, menurut anggapan masyarakat, ia memang pantas alias layak menderita sakit akibat kutukan Tuhan. Dalam situasi seperti itu, si kusta menghabiskan hidupnya untuk sekadar bertahan hidup dengan satu-satunya harapan kalau-kalau ada mukjizat yang bisa dilakukan orang kepadanya. Saya tidak tahu apakah orang kusta ini baru sekali itu tersungkur dan memohon penyembuhan dari Yesus. Bisa jadi loh saking beratnya sakit dan kesepiannya, ia melanggar hukum dan memohon setiap orang yang mendekat dengan rayuan,”Jika Tuan mau, Tuan bisa mentahirkan aku.” Entahlah, saya tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi waktu itu.

Pokoknya, teks menunjukkan bahwa Guru dari Nazareth tidak memiliki alur berpikir seperti diyakini orang kusta maupun masyarakat pada umumnya. Ia tidak memberi kesan takut ketularan. Pada kenyataannya, bukan dia yang ketularan sakit, melainkan orang kusta itu yang ketularan sehat. Meskipun demikian, Guru dari Nazareth ini mengundangnya untuk memenuhi prosedur formal penyembuhannya (datang ke imam yang bisa menyatakan dirinya sungguh sembuh dari kusta). Guru dari Nazarethnya sendiri ngapain?

Dia sendiri menyepi. Dia menghampiri kesepian, bukan seperti orang kusta yang wajib menyepikan dirinya sendiri sebagai konsekuensi hukuman dari Allah, melainkan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang lebih luas. Ia tidak menempatkan dirinya seperti banyak guru yang menjanjikan penyembuhan ajaib. Penyembuhannya berlangsung lewat relasi yang natural untuk mewartakan kabar gembira, untuk mengundang orang pada pertobatan. Kesembuhan, dengan demikian, adalah konsekuensi dari kabar gembira dan pertobatan itu, yang tak perlu dikaitkan dengan paham Allah negatif seperti disinggung kemarin. Kesepian bagi Guru dari Nazareth jadi keheningan yang memungkinkannya kontak dengan dengan diri sendiri, dengan Sumber Hidup, daripada terombang-ambing oleh popularitas musiman.

Memang sih, kalau orang kesepian, yang sebetulnya dia butuhkan bukan kontak dengan orang lain (yang bisa ada atau tidak ada), melainkan kontak dengan dirinya sendiri. Begitulah pesan yang saya terima hari ini: orang menyepi bukan untuk regresi atau agresi, melainkan untuk konversi dari kedangkalan ke kedalaman. Ini berat, biar Anda sajalah.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami berani menyelami kedalaman hati-Mu lewat aneka peristiwa yang serba biasa dalam hidup kami. Amin.


HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN C/1
Jumat, 11 Januari 2019

1Yoh 5,5-13
Luk 5,12-16

Posting 2016: Tukang Cukur Tuhan
Posting 2015: Temuilah Dokter Cinta