Belajar Merdeka

Kemarin saya sempat mendengarkan uraian staf “mas menteri pendidikan” mengenai visi pendidikan ke depan. Saya tertarik soal “merdeka belajar” dan acuannya kepada Ki Hadjar Dewantara mengenai sekolah sebagai penyemaian benih kebudayaan. Di sela-sela konferensi itu saya jumpa kawan yang menjajakan buku dan saya lihat-lihat bukunya.
“Ini nerbitin buku sendiri po? Kok gada penerbitnya?”
Lalu dia sebut nama penerbitnya.
“Lha mana gak ada logo penerbit?”
“Oh, itu kan karena rendah hati, tak mau menampilkan logo penerbit.”
“Kalau rendah hati ya justru logonya ditampilkan, supaya meskipun kamu tidak judge a book by its cover, kamu berani tampil dan dijudge a book by its cover oleh orang lain.”

Hari itu saya belajar kerendahhatian: (1) staf “mas menteri pendidikan” yang mengakui bahwa biang stagnansi pendidikan Indonesia adalah kementerian sendiri yang terlalu ribet dengan birokrasi, administrasi, dan regulasi, alih-alih memberikan peluang inovatif kepada satuan pendidikan dan (2) pengakuan bahwa jangkauan pendidikan ‘hanyalah’ penyemaian benih kebudayaan. Rendah hati bukanlah soal menyembunyikan sesuatu supaya tak menuai pujian, melainkan juga menampilkan sesuatu supaya menuai kritik atau penilaian yang diperlukan. Kebanyakan orang mengusahakan kebalikannya, menyembunyikan boroknya dan menggadang-gadang apa yang dianggap sebagai prestasi kebaikannya sendiri. Ini dibuat selalu dalam kaitannya dengan ‘apa kata orang’.

Yohanes Pembaptis memberi alasan mengapa murid-muridnya perlu bersikap rendah hati. Pertama, tak seorang pun menerima suatu kebaikan pada dirinya yang tidak berasal dari Allah. Kalau orang lain melakukan kebaikan, itu karena dia menerima sesuatu dari Allah. Bukankah Anda sewajarnya ikut senang kalau orang lain mendapat hidayah dari Allah?
Kedua, Yohanes menegaskan kembali bahwa dia ‘hanyalah’ pengantar, mak comblang, atau apa deh yang cocok: ia hanyalah perintis, bukan Mesias itu sendiri. Dengan demikian, bahkan murid-muridnya tak perlu berlagak seakan-akan mereka sedang mengikuti Mesias.
Ketiga, keberhasilan sebagai perintis tidak terletak pada semakin banyaknya follower dirinya, tetapi pada semakin banyaknya orang yang mengikuti apa yang dirintisnya itu. Kalau gitu, ngapain orang beragama mesti mencak-mencak dengan aneka terminologi kejinya kalau orang lain sungguh-sungguh tulus melakukan hal baik untuk kepentingan bersama? Yohanes tidak mencari sesuatu bagi dirinya sendiri dan justru dalam orientasi itulah ia mengalami kebahagiaan penuh.

Baiklah orang beragama mawas diri atas arogansi terpendam dalam dirinya yang muncul justru karena ia tak kunjung memahami agama sebagai jalan menuju Allah dan malah memperlakukan agama sebagai Allah sendiri yang harus menjadi segala-galanya. “Wah orang itu hebat sekali ya, baik banget. Sayang, dia gak ke gereja; sayangnya dia masuk aliran itu; sayangnya dia sekubu dengan anu; sayang dia bukan Katolik” [so what gituloh]
Di balik arogansi itu sebetulnya adanya ketakutan dan kedangkalan agama, yang hendak mengklaim diri segala-galanya.
Begini kata Etty Hilesum sebagai korban kekejaman rasisme: They can make life a little unpleasant for us, they can deprive us of some material good or a little freedom of movement, but we deprive ourselves of our best strengths with our wrong attitude: with our feeling persecuted humiliated and oppressed, with our hatred and our boasting that masks fear.

Tuhan, ajarilah kami kerendahhatian seturut cinta agung-Mu. Amin.


HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
11 Januari 2020

1Yoh 5,14-21
Yoh 3,22-30

Posting 2019: Susahnya Visi-Misi
Posting 2016: Apa Yang Kupertuhankan?

Posting 2015:
Compare? Despair!

3 replies

  1. Terima kasih Rm Andre utk tdk jemu2 mengingatkan supaya umat beriman (termasuk sy pastinya) utk memerdekaan diri dlm menjadikan agama (atau golongan) sendiri sbg yg segala2nya. Still in the learning process, semoga bisa max bebas merdeka pd saatnya🙏

    Liked by 1 person