Tahu Diri

Penggemar Beatles, Rolling Stones, Queen, dan lain-lainnya tidak punya kewajiban moral untuk bisa menyanyikan lagu-lagu yang dipopulerkan oleh grup-grup band tersebut. Kalau setiap penggemar punya kewajiban moral seperti itu, begini salah satu outputnya [mohon dengarkan baik-baik alunan piano dan vokalnya]:

Kewajiban moral berlaku untuk mereka yang mengaku beragama karena biasanya orang beragama punya junjungan atau panutan tertentu. Kalau beragama tetapi tidak punya panutan sosok religius, saya kok curiga agama cuma dipakai sebagai tameng kemunafikan. Sosok panutan ini berfungsi sebagai kerangka arsitektur bangunan pribadi orang beragama itu sendiri, ke arah mana ia akan membangun diri dan hidupnya. Dalam istilah psikologi hidup rohani, sosok panutan ini bisa menjadi diri ideal orang beragama.

Bagaimana kalau saya punya tokoh religius panutan di luar tradisi agama saya, Rom?
Saya tidak bisa menjawabnya secara umum karena bisa jadi persepsi mengenai tokoh religius itu berbeda-beda. Akan tetapi, taruhlah secara sederhana, Anda beragama Kristen tetapi punya tokoh panutan Nabi Muhammad. Mungkinkah? Ya mungkin saja toh sejauh memang Anda benar-benar tergerak mengenal sosok Nabi dan menghidupi nilai-nilai yang diperjuangkan Nabi seturut konteks hidup Anda sendiri. Ini jelas bukan lagi soal menyanyikan lagu yang dinyanyikan Freddie Mercury atau memproduksi pakaian seperti yang dikenakan Dalai Lama. Orang perlu menangkap nilai yang disodorkan sosok religius itu dan mengisi atau memberi daging dan kulit yang elok untuk nilai tersebut.

Asumsi saya, Islam itu universal, begitu pula Kristen. Artinya, nilainya tidak tersekat oleh kategori agama yang memisahkan orang yang satu dari yang lainnya. Yang jadi problem kan karena orang beragama cenderung mereduksi nilai universal itu dengan kategori agama yang dipikirkannya sendiri. Maka, tak mengherankan bahwa orang beragama berpikir bahwa Tuhannya orang Kristen atau Tuhannya orang Islam itu berbeda. Mereka lupa bahwa yang berbeda adalah bingkai atau frame pemikiran mereka sendiri, bukan Tuhannya. Dengan bingkai pemikiran seperti itu, orang cenderung mengobjekkan Allah dan lupa bahwa pengenalan Allah itu sudah satu paket dengan pengenalan diri sendiri. Kalimat ini tidak menyatakan bahwa Allah sama dengan diri sendiri, tetapi bahwa untuk mengikuti sosok religius, untuk mengenal Allah, orang perlu mengenali dirinya sendiri. Kalau tidak, ia merusak keindahan atau menodai kesucian hidupnya sendiri, sebagaimana dicontohkan dalam klip video di atas. 

Teks bacaan hari ini menunjukkan sosok orang beriman yang tahu diri. Ia tidak mengatakan siapa dirinya menurut orang lain (Elia, Mesias, Nabi), tetapi menyatakan diri apa adanya; termasuk ketika baptisannya dipersoalkan. Ia memang membaptis, tetapi hanya dengan air (yang adalah cuma tanda, bukan simbol). Andaikan semua orang beragama seperti Yohanes yang tahu diri dan tahu siapa sosok sesungguhnya yang dinantikan banyak orang beriman, tentu agama tak akan jadi kambing hitam gonjang-ganjing di dunia ini. Tapi ngapain juga berandai-andai? Lebih baik mulai sungguh-sungguh meneladan sosok panutan religius dengan mempertimbangkan keterbatasan konteks hidup konkret setiap orang, supaya tidak jadi bulan-bulanan bisnis atau politik identitas.

Tuhan, mohon rahmat untuk semakin tahu diri dan senantiasa terpaut pada-Mu. Amin.


HARI BIASA MASA NATAL
Peringatan Wajib S. Basilius Agung dan Gregorius dari Nazianze
Rabu, 2 Januari 2019

1Yoh 2,22-28
Yoh 1,19-28

Posting 2018: Manete in me
Posting 2017: Akulah Kebenaran?

Posting 2016: Mana Suaranya?
Posting 2015: Mau Menyuarakan Apa atau Siapakah?