Ini cerita seorang uskup, pemimpin tertinggi Gereja Katolik lokal, di benua Eropa. Katanya, sebelum kelahiran Yesus dari Nazareth, anak-anak Yunani dan Romawi itu akrab dengan fabel. Salah satu ceritanya ialah seekor serigala dan anak domba yang karena kehausan sama-sama hendak minum air di sungai yang sama. Serigala di tempat yang lebih tinggi daripada anak domba. Mereka minum air sungai dalam damai sampai sang serigala, didorong oleh kerakusannya yang tak terkendali, mencari alasan untuk bertengkar.
“Kamu kenapa minum air yang aku minum?” Alasan bodoh tentu saja karena untuk bisa minum air yang diminum serigala, anak domba itu harus nangkring dalam kerongkongan serigala!
Anak domba menjawab,”Maaf, bagaimana mungkin aku bisa melakukan yang kamu tuduhkan itu? Aku minum air mengalir dari tempatmu berada”
Serigala, yang kalah oleh data, berkata,”Enam bulan lalu kamu omong jelek tentang aku ya!”
Domba menjawab,”Bagaimana mungkin? Aku ini balibul, belum lahir enam bulan lalu.”
Serigala itu marah sekali. “Kalau begitu, bapakmu yang omong jelek tentang aku dan kamu ini cuma pandai bersilat lidah. Kamu pantas dimakan.” Serigala segera melompat, menerkam anak domba dan melahapnya.
Fabel itu mau mengatakan bahwa para penguasa, ketika memutuskan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan melawan kaum lemah, tidak akan berhenti di hadapan nalar, data, rasionalitas, akal sehat. Begitulah hendak dipresentasikan Yesus dari Nazareth yang dianalogikan sebagai anak domba, yang ketika berhadapan dengan penguasa hanya bertanya,”Kalau aku salah, di mana salahku. Kalau aku benar, kenapa kamu menganiaya aku?”
Runyamnya, karena yang dianalogikan sebagai anak domba itu Yesus, pengikutnya melihat sosok penguasa itu ada pada Herodes, Pilatus, pemuka agama, dan komplotannya.
Kualitas serigala dan domba balibul dalam fabel itu bisa hidup dalam diri siapa pun dan tak perlu dilekatkan semata pada sosok di luar pembaca. Saya dan Anda memelihara potensi serigala dan domba balibul yang belum disate atau ditongseng. Bukan hanya itu, bahkan label yang dilekatkan Yohanes pada Yesus dari Nazareth itu bisa juga dilekatkan pada Anda: anak domba Allah yang menghapus dosa dunia!
Ebuset, Romo ini ngajari sesat. Sudah jelas, anak domba Allah itu sebutan eksklusif untuk Yesus dari Nazareth!
Saya cuma mengikuti ungkapan alter Christus (Kristus yang lain, yang menjadikan Kristus sebagai model hidup). Kalau ada alter Christus, mengapa tiada anak domba Allah yang lain, bukan?
Ya, tapi kan tidak menghapus dosa dunia, Rom?
Kata siapa? Juga kualitas ‘menghapus dosa dunia’ itu bisa eksis dalam diri Anda!
Runyamnya, frase ‘menghapus dosa dunia’ itu memang rawan diasosiasikan dengan setip bin penghapus dosa di papan tulis. Padahal, sumber dosa tidak terletak di papan tulis. ‘Menghapus dosa dunia’ adalah perkara mengikis kualitas serigala yang membuat orang jadi homo homini lupus (orang yang jadi serigala bagi sesama). Itulah maksudnya dosa asal dalam ajaran Katolik, bukan perkara dosa yang diturunkan secara genetik oleh Adam dan Hawa.
Dosa bukan pertama-tama soal melanggar perintah agama, ini soal penggerogotan kualitas kemanusiaan dengan sifat-sifat serigala tadi. Kalau dosa itu soal pelanggaran perintah agama, Anda takkan bisa menjelaskan mengapa orang menjadi serigala bagi yang lain atas dasar perintah agama! Orang terkelabui gagasan agama!
Tuhan, mohon rahmat kasih sayang-Mu supaya kami tidak jadi serigala bagi yang lain. Amin.
HARI MINGGU BIASA II A/2
19 Januari 2020
Yes 49,3.5-6
1Kor 1,1-3
Yoh 1,29-34
Posting Tahun 2017: Sate Kambing Muda
Categories: Daily Reflection