Duduk ngingKong

Setiap orang beriman bersyukur bahwa Allah memberikan karunia dan hidayah-Nya lewat jalan yang berbeda dari jalan yang ditempuhnya. Justru dengan menaruh hormat pada karunia yang diterima orang lain, orang beriman merajut kesatuan juga meskipun ikatan primordialnya berbeda.

Ini adalah anggur baru yang tak layak dimasukkan dalam kantong lama, kantong berpikir yang hanya punya perspektif insider. Dalam perspektif ini, semua hal dipikirkan dengan sudut pandangnya sendiri, ideologinya sendiri, logikanya sendiri, buktinya sendiri, pengalamannya sendiri, pendapatnya sendiri, dan anunya sendiri pokoknya deh.
Saya pernah berdiskusi panjang lebar dengan orang yang memegang keyakinan bahwa tidak mungkin seseorang mengambil perspektif orang lain sebagaimana orang lain itu memilikinya. Sebetulnya saya sependapat, tetapi bedanya dia tidak punya kehendak untuk melihat dengan perspektif lain, yang sebetulnya sih gampangnya ya supaya dia berperasaan sedikitlah terhadap kepentingan orang lain.

Mungkin saja terjadi, bukan, orang yang sangat saleh dan cool pembawaannya itu di ruang tunggu bandara memenuhi bangku duduk dengan barang-barang bawaannya sementara masih ada orang lain yang hanya bisa berdiri menenteng tasnya? [Yang sekarang lagi ngetren sih kaki ngangkang😂, cowok oh cowok.] Bisa jadi orang yang memberi persepuluhan puluhan juta atau amal ratusan juta itu menangguhkan pembayaran gaji karyawannya secara bergiliran, bukan? Ini bukan soal bahwa orang tak mungkin mengambil perspektif persis sama dengan perspektif yang diambil orang lain. Ini cuma soal orang tidak mau mendengarkan perspektif lain, perspektif outsiderSelidik punya selidik, ternyata orang yang berdiskusi dengan saya itu kebanyakan obat.😂 Jadi perspektifnya tentu dipengaruhi obat yang dia telan.

Teks bacaan hari ini menyinggung soal anggur baru dan kantongnya. Anggur baru ya semestinya ditempatkan di kantong yang baru supaya tidak ambyar semuanya.
Kalau anggur lama dimasukkan ke kantong baru, gimana Rom?
Lha emang kenapa kantong lamanya?😂

Dalam teks bacaan pertama, Saul diingatkan bahwa dulu dia mempersepsi diri begitu kecil. Itulah perspektif insidernya. Maklum, dari suku minoritas. Akan tetapi, pada kenyataannya ia diTAHBISkan (bukan diTASBIHkan ya redaktur media apa gitu) jadi raja karena perspektif outsider: Allah memilihnya jadi raja Israel. Itu artinya dia menerima perspektif outsider. Akan tetapi, setelah keenakan jadi raja, kok perspektif outsider itu tak lagi didengarnya ya?

Itulah persoalannya dengan umat beriman. Seturut tahap perkembangannya, orang bisa jadi cuma hidup menurut ‘apa kata orang’. Ngaku aja, Anda beragama atau tak beragama itu lantaran latar belakang keluarga atau lingkungan masa kecil Anda dong. Dalam perkembangannya, kalau ada di trek yang benar, orang beriman beranjak dari ‘apa kata orang’ menuju apa yang dialaminya secara eksistensial sebagai sesuatu yang bermakna. Alhasil, bisalah dia memutuskan beragama atau tak beragama, beragama anu atau itu, pindah agama atau tidak, dan substansi agama dihidupinya sebagai perspektif insider.

Runyamnya, setelah begitu yakin bahwa hidupnya sudah sejalan dengan petunjuk Allah, kenapa orang beragama jadi sulit mendengarkan perspektif outsider ya? Kenapa orang beragama malah tak bisa melihat bagaimana Allah bekerja dan memanggil orang beriman lewat agama lain ya? Tentu ini bukan Anda. Ini cuma pertanyaan dalam kalbu.

Tuhan, tambahkanlah kepekaan hati kami untuk mendengarkan panggilan-Mu. Amin.


SENIN BIASA II A/2
20 Januari 2020

1Sam 15,16-23
Mrk 2,18-22

Posting Tahun B/2 2018: Copy & Paste Faith?
Posting Tahun C/2 2016: Let’s Kill Jesus