Konon Vincent de Paul pernah memberi wejangan supaya kalau Anda memberikan makan kepada orang miskin yang butuh makanan, Anda memberikannya dengan senyuman karena dengan begitu orang miskin itu memaafkan privilese yang Anda miliki untuk memberinya makan.
Masuk akal juga. Kalau Anda memberikannya dengan cemberut atau raut muka tak bersahabat, pemberian Anda itu mudah ditangkap sebagai bentuk arogansi mereka yang bermental trickle down effect: nih kukasih setetes rezeki karena yang bergalon-galon itu memang hakku untuk bahagia. Begitulah kiranya orang yang berpikir jadi kaya dulu sebelum mencuil sedikit kekayaannya untuk orang miskin. Alasannya tentu saja nemo dat quod non habet (ini dah pernah saya tulis, kalau Anda lupa ya ampunilah kelupaan Anda😁).
Pedoman hidup semacam itu pula yang memungkinkan orang berpikiran untuk berpartisipasi membangun kerajaan atau empire baru dalam suatu negara yang sudah relatif stabil seperti di Indonesia ini. Orientasinya bukan lagi bergandengan tangan saling membantu, melainkan kekuasaan. Di situ orang berpikir soal kekuasaan, yang dengannya orang bisa berbuat apa saja yang dia kehendaki. Maka, bahkan meskipun ide gila ditawarkan, orang rela saja merogoh koceknya dengan target kelak dengan kuasanya itu ia bisa merengkuh lebih banyak lagi. Orang miskin? Ya nanti diberi sisa-sisanya saja!
Dua teks bacaan hari ini menyodorkan tema yang berkebalikan dengan mentalitas ‘kaya dulu baru berbuat untuk orang miskin’. Untuk berbuat sesuatu bagi orang miskin, Anda tidak perlu jadi kaya dulu, tetap miskin saja gapapa kok asal bisa jadi penyalur kekayaan😂. Ini intermezzo, jangan dimasukkan ati, kalau sudah telanjur ya tambahi cabe saja biar jadi sambal goreng ati sekalian.
Bacaan pertama menuturkan bagaimana calon raja Israel muncul, bukan dari suku yang besar, melainkan dari suku yang paling bungsu. Bacaan kedua menarasikan bagaimana Lewi pemungut cukai diajak Guru dari Nazareth, bukan untuk membangun kekaisaran baru dalam wilayah kekaisaran Romawi, melainkan untuk apa ya entah, tidak dikatakan dalam teks. Pokoknya ikut saja Guru dari Nazareth itu. Yang pasti, mengikuti Guru dari Nazareth ini tidak beragendakan kepemilikan kekuasaan atau kekayaan.
Apakah kekuasaan atau kekayaan itu buruk? Ya per se tidak buruklah. Akan tetapi, perlulah dilihat dari dua teks bacaan bahwa juga kalau orientasinya kekuasaan, cita-cita itu menjadi mulia jika inisiatifnya memang dari Allah sendiri. Saul menjadi raja bukan karena dari dirinya sendiri ia ingin menjadi presiden #eh raja. Bukan juga karena ideologi sukunya atau kekayaan keluarganya. Ia menjadi raja karena memang begitulah yang dikehendaki Allah. Tak perlu dipersoalkan bagaimana memastikan kehendak Allah itu ya. Pokoknya, idenya ialah bahwa juga seluruh tindakan karitatif atau tindakan politis, itu menjadi berterima kalau memang landasannya ialah mengikuti panggilan Allah.
Repotnya, konteks Saul tentu berbeda dengan konteks Guru dari Nazareth dan zaman sekarang. Di zaman demokrasi ini, panggilan Allah mesti dicari dalam kebersamaan, dalam dialog yang memberi ruang bagi mereka yang paling tidak diuntungkan. Tragis kan kalau orang mengklaim menjalankan kehendak Allah tapi akibatnya membuat orang yang tersingkir semakin terpuruk?
Tuhan, mohon rahmat untuk bermawas diri supaya tutur kata dan tindakan kami senantiasa sinkron dengan panggilan-Mu. Amin.
HARI SABTU PEKAN BIASA I A/2
18 Januari 2020
1Sam 9,1-4.17-19;10,1a
Mrk 2,13-17
Posting Tahun B/2 2018: Tatapan Jumanji
Posting Tahun C/2 2016: Batu Sandungan
Categories: Daily Reflection