“Tuhan, letakkanlah kata yang tepat dalam mulut kami saat berjumpa dengan mereka yang menderita dan sakit.”
Begitu kira-kira rumusan doa permohonan yang kadang saya ucapkan. Sering saya cuma kelu di hadapan penderitaan atau kesusahan orang lain. Kalau kesusahan itu disebabkan oleh kesalahannya sendiri mungkin masih gampanglah meletakkan kata di mulut,”Kandhani og!” alias “Gué bilang juga apè!”😂🤞 Akan tetapi, tentu itu bukan kata-kata yang tepat, kan?
Saya tidak tahu kata-kata pertama apa yang keluar dari mulut Guru dari Nazareth ketika berjumpa dengan situasi sulit orang lain. Teks bacaan hari ini tidak menyodorkan kisah Guru dari Nazareth mendatangi orang yang terkena kesusahan untuk memberikan kata-kata pertama yang tepat. Sebaliknya, teks menunjukkan bahwa dia sedang memberitakan kabar gembira kepada orang di sekelilingnya. Orang-orang sakit datang kemudian atau datang pada saat dia sedang menyampaikan kabar gembira. Bisa jadi mereka kelewatan kata-kata bijak yang keluar dari mulut Sang Nabi. Akan tetapi, kata-kata bijak tidak identik dengan kabar gembira. Maka, yang penting ialah justru apa yang berdampak bagi transformasi atau perubahan hidup orang. Itulah kabar gembiranya dan memang itulah yang dilakukan Guru dari Nazareth di hadapan mereka yang menderita.
Yang dikatakannya sederhana,”Anakku, dosamu sudah diampuni.” Apakah kata-kata itu tepat? Segera disampaikan catatan bagaimana ahli Kitab Suci Yahudi protes dalam hatinya: bagaimana mungkin seorang manusia menyatakan dosa seseorang sudah diampuni? Itu privilese Allah semata! Dengan kata lain, menurut ahli Taurat itu, kata-kata Guru dari Nazareth itu tidak tepat.
Sebetulnya saya juga tidak tahu apakah kata-kata yang diucapkan Guru dari Nazareth itu tepat, tetapi kalau menilik dampaknya bahwa penderita lumpuh itu sembuh dan mengundang orang memuliakan Allah, apa pentingnya kata-kata itu tepat atau tidak?
Semua orang bisa mengatakan “Dosamu sudah diampuni (Tuhan)” tetapi perkataan itu tak bermakna apa pun jika tidak bersentuhan dengan hati pendosanya dan tidak sungguh membebaskannya. Persis itulah yang sedang diberitakan Guru dari Nazareth dengan pengajarannya. Ia hendak menyentuh hati orang dan membuatnya bertransformasi. Pengampunan Allah tak perlu dikungkung pada doktrin agama, tetapi baiklah dilihat efektivitasnya dalam hidup orang.
Tentu saja ketika seorang imam Katolik di bilik pengakuan meluncurkan rumus “…maka aku melepaskan engkau dari dosa…”, efektivitasnya tidak terletak pada rumusan itu sendiri, tetapi pada koneksinya dengan iman pendosanya. Kalau tak ada iman yang bersangkutan, entah rumusan itu diucapkan dalam bahasa Latin atau bahasa Jawa yang paling tinggi, pengampunan dosanya ya omong nol. Dalam teks bacaan hari ini jelas dikatakan bahwa tidak ujug-ujug Guru dari Nazareth mengatakan “Dosamu sudah diampuni”, tetapi itu dikatakannya setelah ia melihat iman mereka.
Kata-kata Guru dari Nazareth ciamik bukan karena secara hukum agama kata-kata itu joss, melainkan karena secara manusiawi membebaskan dan meneguhkan orang untuk mewujudkan koneksi hatinya dengan Allah. Kata-katanya menggerakkan orang untuk mewujudkan sifat-sifat Allah yang mulia. Artinya, bukan cuma membuat orang berseru ‘puji Tuhan’ atau ‘syukur kepada Allah’ atau ‘alhamdulillah’, melainkan membuat syukur itu terwujud dalam setiap pilihan dan keputusan orang.
Tuhan, ajarilah kami supaya juga kata-kata kami berdaya membebaskan sesama untuk memuliakan Engkau dalam hidup mereka. Amin.
HARI JUMAT PEKAN BIASA I A/2
PW S. Antonius Abas
17 Januari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Bapakku
Posting Tahun C/2 2016: Bergunakah Gagal Fokus?
Categories: Daily Reflection
Thank you for sharing 🙂
LikeLike
It was the least I could do 👌
LikeLike