Dulu saya mengira Guru dari Nazareth berjiwa pemberontak terhadap tradisi Yahudi, meskipun saya mengerti betul bahwa ia sama sekali tak bermaksud mengganti hukum yang mendasarinya. Ia tak hendak menambah atau mengurangi, tetapi menyempurnakannya: bukan dalam rumusan, melainkan dalam tindakan. Jadi, asumsi bahwa Guru dari Nazareth itu memberontak agama Yahudi adalah keliru. Dari teks hari ini saya juga mendapat kesan bahwa beliau sangat menaruh hormat pada kebiasaan agama. Tentu saja, sejauh kebiasaan itu tak merendahkan kemanusiaan.
Ini adalah pembelajaran kecil dari teks bacaan kedua hari ini dengan pembandingan awal kisah dan akhir kisah. Awalnya orang kusta datang menghampiri Guru dari Nazareth. Orang kusta pada saat itu terbilang sebagai kaum yang tereksklusikan dari agama karena sakit yang tak tersembuhkan itu dianggap sebagai hukuman Allah. Jadi, orang yang tersingkir itu datang kepada Guru itu.
Akhir kisahnya ialah orang banyak terus berdatangan kepada Guru itu, tetapi Guru yang dikunjungi itu sedang dalam status ‘tersingkir’. Dengan demikian, ada perubahan gerak dari “yang tersingkir mendatangi sosok Guru” ke “orang yang mendatangi sosok tersingkir”. Bagaimana perubahan itu terjadi?
Dinamikanya menarik. Orang kusta itu memohon bantuan Guru dari Nazareth, tentu karena tak ada lagi orang lain yang dapat membantunya. Guru ini menjamah orang kusta itu, dan dengan demikian, menurut hukum agama, beliau jadi najis juga. Beliau lalu berpesan supaya orang yang sudah tahir itu memenuhi standar operasional prosedur agama: datang kepada pemuka agama yang berwenang menyatakan bahwa ia sudah sembuh. Tidak hanya itu, beliau juga berpesan supaya ia tidak omong apa-apa mengenai bagaimana beliau menjamah dan menyembuhkannya.
Akan tetapi, apa boleh baut, orang itu berkoar-koar juga. Akibatnya? Juga dari kaca mata orang beragama zaman now, berita itu menjadi kontroversi. Maklumlah, dari sekian orang beragama, tentu ada saja yang fokusnya pada kaidah hukum, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, dan itu dianggap mutlak. Alhasil, mestilah ada orang yang atas nama kesucian agama menentang Guru dari Nazareth untuk masuk ke kota karena beliau najong. Ujung-ujungnya, Guru dari Nazareth tak dapat terang-terangan masuk kota dan tinggal di tempat-tempat sepi. Dengan kata lain, beliau tersingkir juga.
Akan tetapi, itu bukan akhir cerita. Orang terus berdatangan menghampiri orang tersingkir ini. Tentu saja, motifnya apa lagi kalau bukan mencari kesembuhan? Itulah yang membedakan beliau dari orang yang mendatangi orang tersingkir. Beliau menjamah orang tersingkir, dan dengan demikian membuat dirinya sendiri tersingkir, untuk menyembuhkan orang lain yang tersingkir itu. Orang berdatangan kepada Guru yang tersingkir ini untuk disembuhkan.
Kebanyakan orang beragama mungkin mengambil pola kedua ini sebagai model hidup mereka, meskipun mengerti bahwa kabar gembira ada pada pola pertama: menjamah, merangkul mereka yang tersingkir. Pola inilah yang memungkinkan dinamika positif dalam masyarakat. Tanpa pola ini, tanpa keberpihakan kepada mereka yang tersingkir, orang terlena untuk ber-status quo ria, melanggengkan kekuasaan bahkan ketika nyata kekuasaan itu tak berdampak pada maju kotanya bahagia warganya. Memang, keberpihakan itu senantiasa berisiko bahwa orang yang berpihak itu bisa tersingkirkan.
Tuhan, ajarilah kami supaya berani berpihak pada kebenaran-Mu. Amin.
HARI KAMIS BIASA I A/2
16 Januari 2020
Posting Tahun B/2 2018: The Humble God
Posting Tahun C/2 2016: Dewasa Sedikitlah, Brow
Categories: Daily Reflection
Aamiinn Yaa Allah.
LikeLiked by 1 person