Kalau Anda masuk ke gereja Katolik, kiranya Anda dapati lemari yang di dekatnya ada lampu kecil yang berkedap kedip cantik atau centil. Kalau lampunya menyala, itu artinya di dalam lemari itu ada roti bulat putih yang oleh orang Katolik disebut Sakramen Mahakudus, atau petugas lupa mematikan lampunya. Kalau lampunya mati, itu berarti di dalam lemari itu tak ada Sakramen Mahakudusnya, atau sedang oglangan alias mati listrik, atau petugas lupa menyalakannya. Nah, kata ‘sakramen’ ini yang susah dijelaskan, berbeda dari lampu kecil kedap kedip centil tadi. Sebagai penanda, tak ada hubungan antara lampu bernyala dan adanya Sakramen Mahakudus dalam lemari itu. Kenapa? Ya karena itu cuma perkara teknis saja untuk kesepakatan tanda. Pada kenyataannya, lampu mati pun belum tentu berarti roti bulat putihnya tak ada dalam lemari.
Sakramen lebih dari sekadar penanda. Orang Katolik menerangkan kata sakramen dengan frase ‘tanda dan sarana keselamatan’. Dalam bahasa teknis mirip dengan kata simbol. Cobalah tengok Kerajaan Agung Sejagat yang rajanya lari entah ke mana. Di situ ada banyak tanda kekuasaan, seragam kepangkatan dan kursi kedudukan, tetapi tak satu pun jadi simbol kekuasaan, kecuali kalau kekuasaan diartikan sebagai penipuan. Dengan demikian, fenomena KAS jadi simbol kebodohan, simbol perbudakan manusia dengan mediasi uang. Barangkali kalau uangnya setara dengan akumulasi korupsi di seluruh BUMN, KAS bisa sungguh terwujud. Apa daya, iuran dari sekian puluh atau ratus orang yang tergila-gila oleh ‘kekuasaan’ tak memadai untuk mendirikan sebuah kerajaan penerus Majapahit. Hari gini gituloh….
Untuk menerangkan sakramen, saya biasanya mengambil foto sebagai simbol. Tentu tidak semua foto menjadi simbol, sebagaimana tidak semua roti bundar putih tadi menjadi sakramen. Mesti ada ‘prosedur’ yang dilalui. Foto Madonna atau foto anggota K-Pop BTS, tak ada artinya bagi saya, tetapi mungkin sangat berarti bagi orang lain. Yang membuat itu berarti adalah relasinya dengan orang-orang yang ada dalam foto itu.
Kalau tak ada relasi dengan orangnya tapi foto itu berarti? Itu artinya ia jadi penggemar atau fan atau follower atau bahkan stalker orang yang ada di foto itu. Di sini foto tetaplah sebagai tanda.
Itu berbeda dengan seorang sahabat yang menaruh foto sahabatnya di dompet atau di kamar. Foto itu bisa jadi simbol, bukan karena sahabatnya ada dalam dompet atau kamarnya, melainkan karena sahabatnya hadir dalam hatinya, ciyeeeeeh.
Lah, bukannya stalker atau follower tadi juga menghadirkan orang dalam hatinya, Rom?
Betul, tetapi yang dominan adalah pikiran dan gambarannya sendiri mengenai orang itu. Foto tidak menjadi mediasi relasi, tetapi jadi idol atau bahkan berhala.
Relasi dengan Allah rupanya juga mengandaikan adanya mediasi. Dalam Gereja Katolik, Sakramen Mahakudus adalah mediasi dan mediasi itu efektif jika orang Katoliknya sendiri punya relasi dalam hati. Tanpa relasi, Sakramen Mahakudus oleh orang Katolik bisa dimanipulasi sebagai jimat dan, alih-alih semakin beriman, malah semakin akrab dengan takhayul.
Bacaan pertama mengisahkan imam Eli yang menjadi mediator bagi Samuel untuk mendengarkan panggilan Allah dalam hatinya. Bacaan kedua menarasikan sepak terjang Guru dari Nazareth untuk menjadi mediasi kerahiman Allah kepada mereka yang mengalami keterbelengguan hidup. Begitulah, sewajarnya orang beriman menjadi mediator kasih sayang Allah kepada seluruh manusia, bahkan juga kalau itu mesti disampaikan dengan tepuk tangan Pramuka, horeeeee…..
Tuhan, mohon kepekaan batin supaya kami dapat menjadi mediator cinta-Mu bagi semua makhluk. Amin.
HARI RABU BIASA I A/2
15 Januari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Galau Tiada Henti
Posting Tahun C/2 2016: Price Tag vs Love Tag
Categories: Daily Reflection