Jurus Doa Mabuk

Pernahkah Anda melihat orang berdoa seperti orang mabuk? Atau jangan-jangan Anda sendiri pernah berdoa seperti orang mabuk? Berdoa seperti orang mabuk tampaknya bukanlah kabar gembira. Lain halnya kalau orang sedang mabuk njuk berdoa; ini sekurang-kurangnya memberi kesaksian bahwa dalam kesulitannya orang berpaling kepada Allah, baik saat mabuk darat, laut, maupun udara.

Dalam teks bacaan pertama hari ini diceritakan imam Eli melihat Hana berdoa seperti orang mabuk: mulutnya komat-kamit tetapi suaranya tak kedengaran. Dalam tangisan doanya ia bernazar: kalau Tuhan mendengarkan doanya dalam kesusahan dan memberikan anak laki-laki kepadanya, ia akan mempersembahkan anak laki itu kepada Tuhan. Nazarnya tampak seperti nazar orang mabuk, dan Eli, meskipun tak mendengar nazarnya, tentu kemudian tahu apa yang menyusahkan hati Hana. Ini kesusahan yang umum pada saat itu: kalau perempuan tak ‘menghasilkan’ anak, terkutuklah ia. Dalam kepedihan hati itu Hana bernazar, dan jika diamat-amati, nazar itu memang terjerat oleh sakit hati Hana. Ini benar-benar bukan kabar gembira.

Apa yang dilakukan Hana bisa jadi prototip orang beragama zaman now juga: berdoa seperti orang mabuk, yang tiada hentinya menghunjami Allah dengan tuntutan tertentu dengan iming-iming nazarnya sendiri. Bisa jadi orang mabuk ini bahkan tak mengerti apa yang dimintanya karena hidupnya dipenuhi kekhawatiran dan ketakutan. Ini benar-benar bukan kabar gembira. Tidak menggembirakan Allah, saya kira, juga tidak menggembirakan manusianya sendiri karena lingkaran kekhawatiran dan ketakutan tadi.

Menariknya, perubahan terjadi setelah Hana mendapat teguran imam Eli. Semula rumusannya menggugat Allah: “Kalau Engkau sungguh-sungguh memperhatikan hamba-Mu ini…” Ini paralel dengan orang zaman now yang meminta bukti kekuatan Allah, kerahiman Allah, dengan meletakkan keinginannya sebagai tolok ukur: “Kalau Allah mahabaik, seharusnya Dia membebaskan aku dari kesusahan ini.” “Kalau Allah itu ada, seharusnya kejahatan itu musnah di muka bumi.” “Kalau Allah memang cinta, semestinya aku tak terkena celaka seperti ini karena aku sudah berdoa ribuan kali bahkan dengan aneka aji-aji (malah jangan-jangan dengan jimat juga!).” Begitulah jurus doa mabuk, tak sadar siapa dirinya di hadapan Allah.

Setelah Eli memintanya pulang dengan janji kemurahan Allah, kesadaran Hana berubah. Ia tak lagi risau dengan permintaannya sendiri dan berharap dirinya mendapat belas kasihan. Ketika orang tak terkungkung oleh kerisauannya sendiri dan membiarkan diri mendapat belas kasihan dari yang lainnya, kabar gembira menghampirinya. Hana menyembah Tuhan dan pulang kembali dan menjalankan hidup sewajarnya. Ndelalahnya, memang setahun kemudian Hana mengandung dan melahirkan anak lelaki, tetapi itu terjadi setelah permohonannya bebas dari kerisauan, kekhawatiran, ketakutan.

Orang beriman hidup biasa dengan menaruh harapan pada belas kasih Allah. Orang beriman memohon kepada Allah bukan dari gugatannya terhadap ketidakadilan Allah, melainkan dari keyakinan bahwa Allah jauh lebih memahami dirinya daripada dia memahami dirinya sendiri. Dalam kesadaran seperti itu, doa tak lagi soal kuantitas, tetapi perkara relasi intim orang beriman dengan dirinya sendiri dalam koneksinya dengan semesta. Ia tidak berdoa karena kesepian, tetapi berdoa karena Allah yang berbelas kasih itu senantiasa meneguhkannya dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, dan seterusnya.

Tuhan, mampukanlah kami meletakkan hidup dalam belas kasih-Mu. Amin.


HARI SELASA BIASA I A/2
14 Januari 2020

1Sam 1,9-20
Mrk 1,21b-28

Posting Tahun B/2 2018: Cerai Saja, Brow!
Posting Tahun C/2 2016: Jangan Paksakan Hidayah!