Jarang-jarang orang sinting mengaku dirinya sinting karena dengan pengakuan itu kadar kesintingannya berkurang (kecuali kalau pengakuan itu jadi bagian stresnya sendiri). Mirip halnya dengan itu orang stres; kalau ia sadar diri sedang stres, kadar stresnya bisa berkurang. Maka tak mengherankan bahwa orang stres bisa berlagak sebagai penguasa dunia, siapa saja mesti tunduk padanya dan tak boleh main-main dengan sakralitas yang diciptakannya. Saya tidak sedang berteori, tetapi sudah ada contohnya belakangan ini berkaitan dengan kemunculan sosok kaisar dan raja.
Daud dalam teks hari ini dinobatkan sebagai raja Israel, bukan menobatkan dirinya sendiri seperti orang sinting mengaku dirinya sebagai kaisar di tanah republik. Karena kisah Daud ini sudah begitu terkenal, orang dapat mengerti bahwa keselamatan atau kebahagiaan tidak dimulai dengan pengakuannya sebagai raja. Sebaliknya, sejak penobatan sebagai raja itu malah Daud masuk dalam masa genting karena memang power tends to corrupt. Dalam kisah hidupnya kemudian kelihatan bagaimana kerapuhan Daud terekspos. Kuasa menghalalkan apa saja yang diinginkannya.
Kebahagiaan hidup orang tidak bermula dari posisinya sebagai penguasa nan jaya. Keselamatan orang kristiani bahkan tidak dimulai dari pengakuannya akan Kristus sebagai raja, tetapi dari tindakan-tindakan kecil biasanya yang menunjukkan bahwa Kristus memang meraja dalam hatinya. Kalau boleh ditarik ke ranah yang lebih luas, keselamatan orang-orang beragama tidak dimulai dari pengakuannya akan agama yang hebat, tetapi dari perbuatan-perbuatan biasanya yang memang menunjukkan nilai-nilai agama itu hidup dalam diri mereka dan nilai-nilai itu membawa damai, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua makhluk.
Maka dari itu, keselamatan atau kebahagiaan, dengan segala guyonannya, tidak akan pernah muncul dari harta, tahta, atau wanita, tentu maksudnya pria juga. Kebahagiaan mulai dari pengakuan diri apa adanya, dengan segala kekuatan dan kelemahan, dan pemaknaan bahwa Allah juga dapat menggunakan kerapuhan orang supaya transformasi dapat berlangsung. Ini sama sekali bukan ajakan untuk mengembangkan kerapuhan, melainkan alasan untuk bertransformasi. Tanpa transformasi, hidup orang tak jauh berbeda dari ahli-ahli Taurat yang dalam teks hari ini dikisahkan menyerang Guru dari Nazareth dengan tuduhan bahwa Sang Guru menggunakan kuasa penghulu setan. Di situ paradigma kekuasaan disodorkan.
Memang tidak mudah mengakui ketidakmampuan diri di hadapan misteri hidup. Orang cenderung hendak menundukkan segala-galanya, termasuk Allah, lupa bahwa jeruk tidak bisa makan jeruk atau gigi menggosok dirinya sendiri. Kuasa Daud semakin besar bukan karena kekuatan dirinya sendiri, yang di dalam sana rapuh, melainkan karena kuasa Allah sendiri. Akan tetapi, semakin lama juga semakin terlihat bahwa kekuasaan Allah itu tak lagi termanifestasikan dalam kekuatan berperang melawan bangsa-bangsa lain. Kekuasaan Allah membebaskan mereka yang terbelenggu oleh kuasa jahat, yang bertendensi membuat segmentasi atau keterpecahan. Kekuasaan Allah mengembalikan orang pada hidup biasa. Runyamnya, orang sendiri kerap berlagak mau hidup luar biasa dan malah beperkara.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami semata mengandalkan kekuatan-Mu dalam setiap jerih payah kami. Amin.
SENIN BIASA III A/2
27 Januari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Iman Sakti
Categories: Daily Reflection