Berdiri di Luar

Tidak banyak kasus kutu loncat agama di negeri ini karena pada umumnya ada sanksi sosial yang dapat mengurungkan orang berpindah-pindah agama. Tapi itu cuma dugaan saya. Yang saya maksud kutu loncat ialah dia yang sejak kecil beragama A, lalu setelah dewasa memeluk agama B, setelah menikah masuk ke agama C, dan sebelum mati kembali ke agama A. Bahkan mungkin setelah mati itu baru dia minta rujuk ke agama B. 🤣🤣🤣

Saya sepakat dengan Haji A.A. Navis: Allah tidak butuh agama, itu untuk manusia di bumi ini saja. Yang dibutuhkan Allah hanyalah relasi cinta-Nya dengan manusia dan itu artinya juga yang dibutuhkan orang kalau dia berada di galaksi yang jauh dari bumi ini sendirian. Ia butuh relasi pribadi alias relasi personal; tetapi ini sama sekali berbeda dari relasi privat. Bayangkanlah Anda kursus privat tetapi belum tentu Anda punya relasi pribadi dengan pemberi kursusnya karena tutor privat Anda itu hanyalah komputer atau media daring atau robot. Di situ tak ada relasi personal meskipun privat sifatnya. Percaya deh sama saya.

Persoalannya tidak terletak pada pihak lain yang adalah robot, tetapi pada cara berpikir orang sendiri yang seperti robot: hendak menundukkan orang lain pada rumus logika di kepala kita sendiri, alih-alih membiarkannya menyuarakan dirinya sendiri. Tidak mau mendengarkan, tetapi maunya didengarkan.

Dalam teks bacaan hari ini, cara berpikir itu diistilahkan dengan “berdiri di luar”. Saya tidak tahu siapa yang datang menjenguk Guru dari Nazareth. Bulik (ibu cilik alias adik perempuan ibu atau ayah) atau budhénya (ibu gedhé alias kakak perempuan ibu atau ayah) bersama saudara-saudaranya. Anehnya, sepertinya mereka hendak menjemput Guru dari Nazareth, tetapi tidak masuk ke dalam untuk menemui Guru dari Nazareth itu. Mereka menyuruh orang lain untuk memanggilnya. Ini aneh, saudara macam mana itu.

Akan tetapi, begitulah orang beragama dengan cara “berdiri di luar”. Ia bisa jadi kutu loncat agama tadi, seakan-akan hanya dengan “berdiri di luar” ia sudah menghidupi agama, seolah-olah dengan mendeklarasikan diri sebagai penganut agama anu memang dia sungguh menganut agama anu. Ini sikap yang dikritik Guru dari Nazareth dengan pertanyaan retoriknya: siapa ibu dan saudara-saudariku?
Yaitu mereka yang tidak “berdiri di luar”: tidak hanya menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya, tetapi juga mendengarkan suara di balik perintah dan larangan agama itu. Suara di balik pernik-pernik agama itulah yang relevan bagi hidup bersama.

Kalau begitu, tinggal cari tahu saja toh, Rom, suara-suara di balik agama tadi? Tanya saja pada orang beragama, malah bisa tahu dari banyak agama, kan?
Ya itu persis yang dimaksud sebagai “berdiri di luar” tadi. Suara di balik agama cuma jadi kognisi, utak-atik-otak, alih-alih manifestasi pribadi yang dengannya orang berelasi. Di sini, orang hidup dalam echo chamber. Halu. Omong-omong sendiri, pikir-pikir sendiri, merasa-rasa sendiri, tetapi dianggapnya itu adalah relasi dengan pribadi lain.
Relasi dengan Tuhan memang mengasumsikan orang masuk ke kedalaman dirinya, tetapi untuk itu orang perlu mendengarkan yang lain juga. Susah, kan?

Tuhan, ajarilah kami untuk masuk ke kedalaman relasi dengan-Mu, dengan diri kami sendiri. Amin.


SELASA BIASA III A/2
28 Januari 2020

2Sam 6,12b-15.17-19
Mrk 3,31-35

Posting Tahun B/2 2018: Tuhannya Orang Gila
Posting Tahun C/2 2016: Ayo Investasi