Sebagian orang beragama membaca Kitab Suci untuk membangun frame dalam memandang dan menilai orang dan agama lain. Sebagian lagi membacanya untuk ngaca. Kepada kelompok kedua inilah Kitab Suci menemukan sasarannya. Akan tetapi, konsisten dengan tipologi ini, dua kalimat itu juga oleh pembaca bisa dipakai untuk menilai orang lain, bisa juga dipakai untuk ngaca. Untuk kelompok kedua inilah tulisan saya ini menjadi relevan.
Lah, tapi kok Romo suka nyindir-nyindir orang lain yang lagi trending di media?
Lha ya kan itu kasih contoh untuk ngaca.😁😁😁
Perumpamaan tentang penabur dalam teks hari ini cukup terkenal, bahkan jadi kajian psikologi juga mengenai disposisi batin hidup orang beragama. Cuma ya itu tadi, kadang pembacanya meleset dalam menafsirkannya, alih-alih untuk mengenali dinamika komponen pribadi orang, malah untuk menghakiminya. Jenis tanah yang baik, yang berbatu, yang bersemak duri, dan jalanan bukan penggolongan kepribadian orang, melainkan metafora bahwa dalam diri seseorang ada kualitas baik dan buruk itu. Mana yang buruk, sewajarnya disadari dan orang dipanggil untuk mengembangkan kualitas baik dalam dirinya. Kan gitu mestinya. Tiap orang perlu mawas diri.
Teks bacaan pertama menggambarkan tendensi orang beragama yang mencari kemapanan sehingga apa-apa saja mau dipatenkan, dimapankan. Raja Daud sampai pada awal masa kejayaannya. Semua musuh di sekelilingnya tak lagi jadi ancaman. Dia bisa tenang di rumah kayu arasnya. Pada saat itulah ia berpikiran untuk membangun rumah Tuhan. Baik kan membangun rumah Tuhan? Baik kan merenovasi tempat ibadat? Baik kan membuat rumah suci yang nyaman untuk beribadat kepada Tuhan?
Tul tul tul, tapi Daud kurang mawas diri. Mosok Allah yang selama ini menuntun Daud dan bangsanya ke sana kemari malah mau dibangunkan tempat tinggal? Ngaca, Ud, kalau Dia butuh rumah tentu sudah sejak zaman jebot dibangun-Nya rumah!
Akhirnya Daud mawas diri sih dan rumah megah untuk Allah itu terbangun pada masa Salomo, tetapi itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dalam diri orang selalu ada tendensi untuk status quo, termasuk membuat Allah berstatus quo, memasung Allah di sudut tertentu yang bisa dikontrol orang. Bukankah ini namanya kurang ajar? Bukankah dengan demikian orang beragama juga kurang ajar mengklaim rumah Allah dalam bangunan yang didirikannya baik dengan IMB maupun tanpa IMB?
Saya mau menyambungkan dua teks bacaan itu dengan kata esensialisme. Ini mirip dengan wejangan untuk tidak mengobjekkan Tuhan sih. Dengan esensialisme, orang memberi kata terakhir terhadap kenyataan seakan-akan dia tahu segala mengenai kenyataan itu, termasuk Allah. Ini bukan soal tebak-tebakan kepribadian, melainkan lebih-lebih soal sikap tertutup pada dinamika kehidupan: bahwa pribadi manusia itu unpredictable, apalagi Allah! Akan tetapi, dengan modal esensialisme, orang membuat paten: bahwa Allah tak mungkin jadi manusia, bahwa Allah tak mungkin berkata-kata dalam bahasa manusia, bahwa Allah tak mungkin memanifestasikan Diri dalam banyak wujud.
Njuk berarti panteisme itu mungkin dong, Rom? Enggak, soalnya kalau orang mawas diri sungguhan, ia sadar bahwa ia bukan Allah. Lain perkaranya kalau orang ingin berada dalam Allah dalam segalanya: panenteisme. Itu bisa dilakukan jika orang memupuk jenis tanah baik dalam dirinya supaya Sabda Allah itu subur dalam hidupnya.
Tuhan, mohon rahmat supaya hati dan budi kami semata yang menjadi rumah kediaman-Mu. Amin.
RABU BIASA III A/2
29 Januari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Terang Bulan
Posting Tahun C/2 2016: Hidup Itu Sulit, Mati Gampang
Categories: Daily Reflection