Ketika seorang siswa secara berapi-api berpidato menjelaskan jargon yang dipakai sekolahnya, mendadak celetukan ringan siswa lainnya membuat audiens tertawa terbahak-bahak. Ini sekolah siswanya cowok semua [lha iyalah, Rom, namanya siswa ya cowok, kalau siswi baru cewek #halah]. Berulang kali orator itu meneriakkan kata ‘men for others‘, sampai pada teriakan kesekian kalinya seseorang berteriak: women for us. Betul juga ya, karena ini cowok semua, ya biar cowok untuk orang lain deh, dan cewek untuk kita.😁
Guru dari Nazareth menggunakan metafora yang artinya tak beda dari to be men and women for others (and with others). Metafora itu bertumpu pada dua benda dalam hidup keseharian: lampu dan garam. Cobalah saat kelaparan hebat, Anda pergi ke dapur mencari makan. Pasti Anda tidak akan berpikir untuk mengambil tempat garam dan menuangkan isinya ke mulut Anda, kecuali tempat garam tadi ternyata berisi jus atau makanan kesukaan Anda!
Begitu pula halnya dengan lampu. Pada saat listrik mati dan kegelapan meliputi rumah, Anda menyalakan lampu dari layar hape Anda, pasti Anda memakainya untuk melihat benda lain, bukan melihat hapenya sendiri, kecuali pada saat itu Anda mau lihat direct message yang baru masuk. Itu juga mestinya lampu dari hape Anda matikan dulu.
Baik garam maupun lampu menunjukkan kesamaan: tidak menarik perhatian besar pada diri mereka sendiri tetapi kehadirannya memungkinkan orang dapat memperhatikan hal lainnya. Garam memberi rasa pada makanan, dan lampu menunjukkan benda-benda lain yang diperlukan orang. Dengan demikian, sangat mungkinlah Guru dari Nazareth itu mengambil garam dan lampu karena karakteristiknya yang mesti dimiliki orang beriman: adanya untuk sesuatu yang lain, hidupnya untuk sesuatu yang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Maka, garam dan lampu tidak menonjolkan diri dalam objek yang dibutuhkan, tetapi larut atau berpendar dalam objek yang diperlukan. Kalau garam jadi dominan, keasinan, kalau lampu dominan, overexposure.
Kiranya begitulah diharapkan dari orang beriman. Ia tak perlu menonjol-nonjolkan “ini loh Katolik, ini loh Protestan, begini loh Islam” dan seterusnya. Kalau halnya memang bermanfaat untuk bonum commune, orang tak peduli dengan identitas macam itu. Kalau orang peduli pada identitas macam itu, garam dan lampu itu malah meleset dari maknanya, agama malah keluar dari jalur relnya. Bukankah agama dibuat demi kebaikan manusia? Itu sudah, semestinya kebaikan manusia yang diutamakan, tapi apa lacur, orang beragama pandir menggembar-gemborkan atribut dan selalu melihat, memandang, merasa, berpikir dengan kategori agama, seakan-akan agama jadi tujuan hidup umat manusia. Dalam keadaan seperti itu, hidup orang keasinan atau overexposure, tak nikmat disantap, tak enak dipandang.
Kemarin ada berita kecil yang mengingatkan saya pada kasus lucu Ahok beberapa tahun lalu. Kalau dulu orang ribut karena orang Kristen jadi gubernur tempat mayoritas Islam, kemarin juga ada protes kecil karena pejabat ketua bimas Katolik dipegang orang Islam. Begitulah lucu-lucunya orang beragama, yang lupa bahwa hidupnya bermakna kalau ia jadi man for others atau woman for others. Kemuliaan agama tidak terletak pada dirinya sendiri, tetapi pada realisasi potensinya sebagai garam dan terang dunia.
Tuhan, semoga kami terjauhkan dari kepandiran yang membuat kami jadi narsis dalam hidup beragama. Amin.
MINGGU BIASA V A/2
9 Februari 2020
Yes 58,7-10
1Kor 2,1-5
Mat 5,13-16
Posting Tahun 2017: Mana Lampunya
Categories: Daily Reflection