Teks bacaan kedua hari ini ditutup dengan disposisi batin Guru dari Nazareth yang melihat orang begitu banyak dan berbelas kasihan. Entah berapa banyak orang yang dilihatnya, mungkin ya 600-an. Angka 600 ini cuma saya ketik karena ingat kontroversi belakangan ini. Ada tayangan wawancara keluarga anggota ISIS dengan pesan bahwa semua manusia pernah melakukan kesalahan dan selayaknya mendapat maaf kalau mereka bertobat. Pesan mulia sih, berbau-bau belas kasih dan cinta.
Tapi, sebentar, kalimat penutup cerita bacaan hari ini melanjutkan wacana belas kasih itu dengan pengajaran. Bahasa Jawanya piwulangan, bukan pemulangan. Maksudnya, Guru dari Nazareth menaruh belas kasihan kepada orang banyak itu, dan kemudian dia memberikan pengajaran mengenai banyak hal kepada mereka. Banyak halnya apa, entahlah, tetapi pastinya bukan seperti kursus menjahit atau membuat kristik. Yang diajarkan mestilah hal-hal yang erat berkaitan dengan pesan dari bacaan pertama. Apa isi bacaan pertama?
Narasi tentang anak king of the king yang ditawari Tuhan yang menampakkan Diri dalam mimpinya,”Kamu minta apa, akan Kuturuti.” Kerennya, anak king of the king itu minta pulang! Yang 600 tadi tidak minta pulang, tapi Salomo minta pulang: minta supaya dalam dirinya tumbuh kemampuan untuk membedakan mana yang baik, yang benar, dan yang tepat. Dengan kata lain, ia minta supaya dalam dirinya ada kebijaksanaan.
Ada begitu banyak orang yang hidupnya tak pernah ‘pulang’: senantiasa berpatokan pada apa kata orang, sehingga tak tahu lagi batinnya sendiri berkata apa.
Nah, kalau batin saya sendiri berkata apa tentang pemulangan 600 anggota ISIS? Reaksi spontan saya adalah: nonsense.
Jangankan 600, memulangkan satu orang yang tak pulang itu saja sudah janggal. Kenapa? Lha wong berangkat-berangkat sendiri, mengambil keputusan sendiri, biaya sendiri, hanjuk kok negara yang memulangkan? Negara kacung, iya. Kalau itu deportasi, lain perkara.
Ya kan demi kemanusiaan, Rom!
Betul, tetapi kemanusiaan Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, berkebudayaan, dan berketuhanan. Adilkah memulangkan 600 orang dengan memukul rata 600 orang itu identik, semuanya khilaf? Aneh juga, membakar paspor kok khilaf.
Ya namanya juga khilaf, Rom. Membunuh orang aja khilaf.
Njuk?
Pulang.
Lha ya pulang saja, silakan!
Lha, paspor saya dah ilang.
Lha ya tuntut saja orang yang menghilangkan paspor Anda.😂
Sadis, orang khilaf bertobat kok tak diampuni.
Kan sudah berkali-kali saya bilang: mbèlgèdhès dengan forgive and forget. Mengampuni tidak identik dengan melupakan.
Memang ‘tidak melupakan’ juga tidak sama dengan ‘mengingat-ingat’ atau ‘mengungkit-ungkit’, tetapi mengampuni juga tidak identik dengan tak peduli pada dampak yang terjadi akibat kesalahan itu.
Konkretnya?
Wah, kalau saya presiden ya cukup berkata ‘tidak’ (memulangkan) dan kebijakan lainnya diterjemahkan dari kata ‘tidak’ itu, disesuaikan dengan penyelidikan seksama. Berhubung saya bukan presiden, saya cuma bisa bilang, setiap orang memang perlu ‘pulang’: tahu dirilah, jujur dengan diri sendiri (lha dengan siapa lagi kalau bukan diri sendiri?).
Menariknya, untuk ‘pulang’ itu ada kalanya orang perlu di tempat asing, di tempat sepi, di tempat yang memungkinkan orang berjumpa dengan dirinya sehingga perjumpaan dengan orang lain sungguh jadi isis, jadi berkat.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami semata mengambil pilihan yang sejalan dengan cinta-Mu. Amin.
SABTU BIASA IV A/2
8 Februari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Moving Borobudur
Posting Tahun C/2 2016: Ayo Cari Duit
Categories: Daily Reflection
Yah, nonsense…
LikeLike