Biasa kan orang kepingin apa yang tak dimilikinya? Maka tak perlu heran ada larangan untuk menginginkan milik orang lain. Keinginan itu bisa menyesatkan, bahkan meskipun keinginan akan sesuatu yang suci. Ah, gimana toh Romo ini, mosok menginginkan sesuatu yang suci malah bisa menyesatkan?!
Silakan klik intermezzo di sini jika berminat. Mohon tidak letterleijk membacanya seolah-olah saya hendak menyalahkan orang-orang yang ada dalam foto di situ. Salah satu foto modelnya teman saya juga je, dan saya sama sekali tak hendak mengkritik dia, apalagi ordonya (hari ini malah Serikat Yesus memperingati martir Jepang Paulus Miki yang juga mati bersama beberapa orang anggota ordo ketiga Fransiskan seperti mereka yang fotonya jadi cover majalah itu). Saya kritisi judulnya “awam juga bisa suci”, yang cenderung membangun oposisi biner “awam vs klerus”; klerus suci, awam kurang suci; maka awam perlu ambil kerohanian klerus supaya suci!
Wis to, tak usah bertele-tele: ukuran kesucian awam tak bisa dipakai untuk mengukur kesucian klerus dan sebaliknya, ukuran kesucian klerus tak bisa diterapkan untuk awam. Kalau ideal suci untuk awam diukur dengan tolok ukur kesucian seorang rahib, mau jadi apa dunia ini? Sebaliknya, kalau kesucian hidup membiara diukur dengan kesucian awam, mau jadi apa biara-biara kontemplatif itu? Ancur ya ancur dah.
Meskipun demikian, ada prinsip dasar kesucian yang tak bisa dilanggar baik oleh awam maupun oleh klerus, biarawan atau biarawati. Prinsip dasar itu diminta oleh Salomo dalam bacaan pertama dan jadi konkret pada apa yang dilakukan Yesus dalam bacaan Injil. Salomo diberi kesempatan untuk meminta sesuatu kepada Tuhan. Mau minta apa lagi. Semua-muanya dah ada. Tinggal satu hal yang diperlukannya. Ini seperti doa Reinhold Niebuhr, Serenity Prayer. Orang perlu lapang dada menerima kenyataan yang tak bisa diubah dan keberanian untuk mengubah hal yang bisa diubah. Kalau cuma nrimo, orang bisa jadi bulan-bulanan ketidakadilan, tak ada perubahan. Kalau cuma berani main ubah, orang bisa jadi tiran. Gimana biar gak jatuh ke dua ekstrem itu?
Salomo memohonkannya: suatu discreta caritas (baca: diskréta karitas), cinta yang discreet, hati bijak karena keterpautannya dengan Allah sendiri. Discreta caritas inilah yang membuat Salomo mampu membedakan kenyataan mana yang tak bisa diubah dan mana yang mesti diubah. Kepandaian, kepintaran, inteligensi semata (yang bisa dipicu dengan pil untuk kecerdasan manusia) tak memadai. Dibutuhkan hati yang penuh cinta untuk mempertahankan prinsip dan mengubah strategi demi keselamatan jiwa banyak orang. Ini elemen fundamental bagi suatu discreta caritas.
Yesus begitu murah hati lantaran discreta caritas ini: maksud hati pergi beristirahat, dan rencana istirahatnya itu diubahnya jadi momen rekreatif. Unik juga rekreasinya: mengajar orang banyak. Ya ampun, padahal kebanyakan dari kita malah mengajar sebagai profesi untuk cari duit. Lha ya gakpapa toh. Yang penting, dengan discreta caritas, cari duit tadi bisa jadi momen rekreatif: membangun pandangan, visi kreatif supaya hidup ini layak dijalani bagi sebanyak mungkin makhluk.
Ya Tuhan, bantulah kami melihat kenyataan sebagaimana Engkau melihatnya, memahami kenyataan sebagaimana Engkau memahaminya. Amin.
HARI SABTU PEKAN BIASA IV C/2
Peringatan Wajib S. Paulus Miki (SJ) dkk
6 Februari 2016
Posting Tahun Lalu: Doa Bukan Pelarian Br0w!
Categories: Daily Reflection