Orang Kristiani mengklaim bahwa Bait Allah yang dibangun Salomo itu hanyalah antisipasi Bait Allah yang sesungguhnya, yaitu yang disebut Yesus Kristus, tapi sering lupa bahwa Yesus Kristus itu adalah sosok yang approachable, yang sangat terbuka pada sentuhan kaum miskin dan tersingkir. Begitu bunyi kalimat yang muncul setelah mengontemplasikan dua teks bacaan hari ini.
Kontemplasi kok malah hasilnya tuduhan sih, Rom?😁
Bukan tuduhanlah, cuma bahan mawas diri saja, karena memang bisa jadi begitu. Itu gak cuma menimpa orang Kristiani. Semua orang punya tendensi formalisme dan kalau ketambahan attachment, semakin menjadi-jadi lagi tendensi untuk menghindari sentuhan kaum tersingkir tadi. Begini contoh kecilnya, berhubung dengan bacaan pertama: orang-orang berduit akan tanpa segan menggelontorkan uang untuk pembangunan Bait Allah. Lha wong Bait Allah je, harus murah hati dong!
Alhasil, duit itu mengalir ke tempat yang jauh di sana, di pelosok. Tak tanggung-tanggung, Bait Allah itu dibangun laksana Bait Allah Salomo. Megah dan mengundang decak kagum semua orang yang melihatnya, meskipun yang rutin memakainya ya cuma separuh atau dua per tiga dari umat Allah. Beberapa kilometer dari situ muncullah keinginan umat lain yang juga berharap bisa merenovasi Bait Allahnya. Tak usah sebagus Bait Allah ala Salomo tadi, tapi pokoknya lebih bagus dari yang sekarang ada. Maka, digelontorkanlah lagi uang dari penjuru kota dan Bait Allah agak megah berdiri lagi. Begitu seterusnya. Lha rak ora ana bédané karo bait orang, kan? Sana punya apa, sini besok beli; tetangga beli apa, besok di sini juga ada yang lebih canggih. Hanjuk klaim Yesus Kristus bait Allah itu apa artinya?🤦♀️
Syukurlah, saya tidak menyalahkan pastor atau uskup, tapi menyalahkan semua, termasuk saya sendiri.😁 Saya tak berkutik, tak bisa berbuat apa-apa, dan lama-lama apatis, wis sak karěpmu. Jadi, ya nulis aja.
Saya bukan arsitek, tetapi saya yakin bahwa arsitektur yang baik pasti akan mempertimbangkan konteks hidup. Mesti ada filosofinya, karena bukan cuma kopi yang punya filosofi. Nah, pertanyaan sederhana, kalau sampai ada orang yang ‘tak bisa’ masuk Bait Allah karena lantainya berkilauan bin kempling dan tak pantaslah orang yang cuma beralaskan sandal atau pakaian ala kadarnya masuk, ini Bait Allah atau bait siapa?
Orang beragama, pun kalau mau membangun Bait Allah, mbok yao membangun Bait Allah yang diantisipasi oleh Salomo tadi: Bait Allah yang approachable juga bagi mereka yang miskin dan tersingkir. Itu bukan cuma gedung, melainkan orang-orangnya. Ini teori, memang. Praktiknya, silakan lihat sendiri di sekeliling Anda. Bisa jadi, di tempat Anda sendiri, Bait Allah itu ternyata eksklusif, tak terbuka, dan senantiasa membawa pesan tersembunyi “no money no love“. Itu tak bikin house of love, tetapi house cinta.
Saya mendoakan jemaat-jemaat yang susah membangun tempat ibadat, bukan supaya dimudahkan membangunnya, melainkan supaya mengingat pesan bacaan pertama dan kedua hari ini: kemegahan Bait Allah tak terletak pada bangunan fisik, tetapi pada kualitas orang yang sungguh bersentuhan dengan kaum papa miskin. Dengan begitu, saya mendoakan diri saya juga.
Ya Allah, mohon rahmat kepekaan supaya hidup kami sungguh menjadi bait-Mu. Amin.
SENIN BIASA V A/2
Pw S. Skolastika
10 Februari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Invisible Touch
Posting Tahun C/2 2016: Mau Jadi Dukun?
Categories: Daily Reflection