Tak ada orang lain yang dapat mengganggu hidup kita sampai kita mengizinkannya. Begitulah salah satu modifikasi pernyataan Guru dari Nazareth bahwa yang menajiskan bukan barang atau makanan yang masuk ke mulut melainkan yang keluar dari mulut. Tentu tidak dimaksudkannya kalau Anda sedang makan permen lalu khilaf dan permennya jatuh dari mulut Anda lantas permen itu jadi najis atau jadi haram. Poinnya ialah makanan dan minuman yang lewat mulut itu masuk ke metabolisme tubuh dan berujung ke toilet atau jamban atau tempat pembuangan seturut budaya yang Anda miliki. Makanan dan minuman itu numpang lewat saja.
Akan tetapi, Guru dari Nazareth itu kan tidak bicara sebagai ahli nutrisi atau dokter kandungan atau apa lagilah yang bisa mengobservasi bahwa tubuh punya daya serap tertentu atas makanan dan minuman itu dengan segala reaksinya. Dia bicara sebagai guru rohani, dan dengan demikian, wacana yang menyimpulkan bahwa dia menyatakan semua makanan halal mesti dikaitkan dengan keterangan bahwa yang menajiskan adalah yang keluar dari hati orang. Yang keluar dari hati ini memengaruhi pikiran orang, yang bisa baik, tapi bisa juga tidak baik. Dengan kata lain, halal haram adalah soal kebijaksanaan dari hati orang yang bersangkutan.
Tak mengherankan, dalam tradisi-tradisi agama ada hewan yang disucikan, ada yang ditabukan. Ada perilaku yang dianjurkan, ada yang dilarang. Berbeda-beda. Semua itu buah kebijaksanaan yang muncul dari hati orang, tentunya dengan pengandaian bahwa kebijaksanaan itu sejalan dengan hidayah Allah sendiri. Sampai di sini jelas bahwa persoalannya bukan menurut agama tertentu yang ini najis atau yang itu haram. Tiap agama punya kriteria tersendiri seturut jalan pemahaman atau penafsirannya atas hidayah Allah. Karena itu, tak perlu dipersoalkan, apalagi dengan lempar-lemparan kursi segala.
Yang perlu diwaspadai ialah koneksi kebijaksanaan manusia dengan hidayah Allah tadi, yang seakan-akan diandaikan begitu saja sudah selalu dalam kualitas 5G atau bahkan 6G. Dalam keadaan seperti ini, ketika orang mengandaikan bahwa kebijaksanaannya sudah sejalan dengan kehendak Allah, ia bisa menyalahkan dunia luar: mereka lambanlah, berbelit-belitlah, munafiklah, sakitlah, tak pekalah, atau apalah. Pokoknya yang salah itu senantiasa pihak luar, lupa bahwa jebulnya koneksinya sendiri merosot ke 2G.
Teks bacaan pertama memaparkan kunjungan Ratu Syeba kepada Raja Salomo yang kebijaksanaannya tersebar ke seantero jagad. Ratu ini kepo dan hendak menguji kebijaksanaan Salomo, dan benarlah dijumpainya sosok pribadi yang sangat bijak, yang kebijaksanaannya melebihi dari yang bisa dibayangkannya. Ratu Syeba mengakuinya dan juga mengagumi Tuhan yang jadi sesembahan Salomo. Nah, ini bagian ketika Salomo punya koneksi 5G nan lancar jaya dengan Allahnya. Besok ceritanya lain lagi.
Untuk hari ini ya kira-kira begitulah: haram halal itu kembalikan saja pada koneksi hati dengan Allah. Yang dikritik Guru dari Nazareth, seperti juga kemarin sudah diungkap, ialah bahwa orang beragama hendak menjadikan hal-hal di luar dirinya sebagai kambing hitam kenajisan dan lupa bahwa yang menajiskan itu justru hatinya sendiri yang jauh dari Allah, bahkan meskipun bibirnya melantunkan nama Allah.
Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk inner journey dengan kualitas koneksi yang baik dengan-Mu sehingga kami tak senantiasa mengeluhkan orang atau hal lain di sekeliling kami. Amin.
RABU BIASA V A/2
12 Februari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Hatinya ke Laut
Categories: Daily Reflection