Berhala itu seperti kalau Anda di studio gym dan menjumpai dinding cermin. Ruangan terasa luas, dan Anda melihat diri Anda pada cermin dengan aneka hal di sekeliling. Anda masih bisa melihat seluruh badan Anda. Kalau Anda menatap mata Anda di cermin, hal-hal lain masih terlihat sebagai latar. Semakin mendekat pada cermin dan terus menatap mata Anda, lama-lama Anda jadi pendekar bermata satu. Kalau tak percaya, cobalah. Saya cuma mau bilang begitulah berhala: cakrawala menyempit, pandangan Anda tertutup oleh mata dan kepala Anda sendiri. Lain halnya kalau Anda memandang ke arah dinding kaca transparan, semakin Anda mendekat ke kaca, semakin cakrawalanya meluas, tidak terbatas oleh atap atau lantai ruangan.
Pada idol atau berhala orang becermin. Kalau Anda jadi idol, itu cuma mengatakan apa yang disukai orang lain dari dirinya sendiri. Kalau Anda mengidolakan seseorang, itu cuma berarti Anda memproyeksikan kesukaan Anda pada orang yang bersangkutan.
Yerobeam menguasai sepuluh suku Israel seperti dinubuatkan Ahia. Akan tetapi, gelojoh kuasa membuatnya tak lagi menghargai tradisi dan dia mengambil langkah supaya orang-orang Israel itu tak kembali ke Yehuda, wilayah kekuasaan Rehabeam. Caranya, dia mengangkat imam seturut kemauannya, tidak mengambil orang dari kelompok imam kaum Lewi sesuai tradisi. Ia juga membangun tempat ibadat di Dan dan Betel, supaya rakyatnya tidak ke Yerusalem. Gelojoh kuasanya itu mengambil wujud patung anak lembu emas. Itulah yang kemudian dia minta supaya rakyatnya menyembah patung anak lembu emas itu.
Teks bacaan kedua mengisahkan bagaimana belas kasih Guru terhadap orang banyak yang kelaparan. Para muridnya sebetulnya juga melihat hal yang sama, tetapi mereka itu ke mana-mana masih membawa cermin: yang dipikir cuma gampangnya, demi kesukaan diri sendiri, lari dari tanggung jawab. Maka dari itu, ketika guru mereka omong soal orang banyak yang kelaparan itu, mereka segera menyodorkan usul supaya orang banyak itu disuruh pulang saja. Perspektif mereka tertutup oleh pencarian ego dan cakrawala pandang mereka terbatas.
Guru dari Nazareth menekankan bahwa tak penting seberapa orang punya. Yang penting kepunyaannya itu diletakkan dalam kerangka memandang lewat dinding kaca tadi: semakin lebar perspektifnya, semakin luas cakrawalanya.
Itu hanya mungkin kalau orang mengandalkan hidupnya kepada Allah, bukan kepada idol-idol tadi. Bagaimana sih hidup mengandalkan Allah itu? Ini bahasa tinggi, Rom!
Ya sebetulnya bukan tinggi atau dalam sih. Itu cuma kata lain supaya orang tidak memutlakkan gagasan-gagasannya sendiri yang terbangun dari kalkulasi ekonomi atau matematika dengan tolok ukur kuantitas dan berujung pada kesukaan lahiriah semata. Patung anak lembu terbuat dari berlian pun tetaplah patung. Ideologi agama tetaplah ideologi, tak ubahnya seperti kapitalisme. Maka, supaya tak jadi idol, mesti melihat ke luar: apa yang dibutuhkan orang banyak.
Lha kalau yang dibutuhkan orang banyak idol, gimana, Rom?😂
Ya silakan tiru Yerobeam, yang hidupnya cuma dari gelojoh kuasa tapi di baliknya tersembunyi ketakutan. Silakan tiru para murid, yang labelnya memang murid guru tersohor, tapi tak masih sibuk dengan dirinya sendiri.
Ya Tuhan, ajarilah kami supaya hidup kami tak beku menjadi berhala. Amin.
SABTU BIASA V A/2
S. Klaudius la Colombiere (SJ)
15 Februari 2020
1Raj 12, 26-32; 13, 33-34
Mrk 8, 1-10
Posting Tahun B/2 2018: Tanpa Hati Tak Happy
Posting Tahun A/2 2014: Possibility of the Impossible
Categories: Daily Reflection