Kalau menguasai perangkat lunak pengolah kata secara sempurna, Anda tentu pernah sekurang-kurangnya melihat karakter Cyrillic, yang disusun oleh orang yang diperingati oleh Gereja Katolik hari ini. Namanya Sirilus. Konon nama sebetulnya adalah Konstantinus, tetapi setelah masa tuanya ia menjadi pertapa dan mengambil nama Sirilus itu. Masa tuanya berbeda dari saudaranya, Metodius, yang kemudian menjadi uskup. Nah, Sirilus berjasa besar menerjemahkan karya-karya Yunani dalam bahasa Slavia. Saya tidak tahu apakah Sirilus juga menerjemahkan karya-karya itu ke dalam bahasa Arab karena ia juga fasih berbahasa Arab. Ia seorang poliglot yang juga menguasai bahasa Latin dan Ibrani, tapi dia tak bisa berbahasa Jawa. Maklum, ia hidup pada tahun 800-an, pada saat bahasa Jawa masih dalam wujud bahasa Kawi. Akan tetapi, ini bukan blog tentang bahasa. Tentu kalau mau dikategorikan bahasa bisa juga sih: bahasa belas kasih Allah.
Mengenai belas kasih Allah ini, jebulnya Allah itu ya eksklusif juga. Padahal dulu saya sudah bilang Allah itu tidak eksklusif, běněran Dia gak eksklusif. Mungkin saya salah mengartikan eksklusif, tetapi bisa jadi karena eksklusif itu konsep, pengertiannya juga bergantung konteksnya. Apa sih di bawah kolong langit ini yang mutlak?
Mari lihat kasusnya. Dalam teks bacaan pertama dinarasikan bagaimana akibat perselingkuhan Salomo suku-suku Israel diceraiberaikan. Tandanya disampaikan Nabi Ahia kepada Yerobeam. Ia menyobek-nyobek kain barunya jadi dua belas bagian, dan sepuluh sobekan diberikannya kepada Yerobeam sebagai tanda bahwa Yerobeam akan menguasai sepuluh suku Israel. Njuk yang dua gimana? Silakan tanya ke dosen Kitab Suci ya.
Yang menarik saya ialah bahwa dari sekian yang tercabik-cabik akibat pengkhianatan Salomo itu, masih ada satu yang dieksklusikan dari kehancuran. Kenapa? Karena ternyata Allah itu setia. Sehancur-hancurnya manusia, Dia tak kehilangan belas kasih. Dia berpegang teguh pada janji-Nya kepada Daud, dan itu yang bikin suku-suku Israel sewot banget terhadap keluarga Daud, yang dipilih Allah.
Akan tetapi, saya tak ambil pusing dengan urusan keluarga Daud. Yang saya lihat bahwa eksklusi yang dilakukan Allah itu tidak dilakukan karena sifat eksklusif, tetapi karena belas kasih-Nya mesti bertahan seburuk apa pun bangsa manusia ini. Mesti ada yang disendirikan supaya belas kasih Allah kelihatan. Itu juga yang diceritakan dalam bacaan kedua.
Setelah perjumpaannya dengan perempuan Yunani itu, sudah saya bilang, Guru dari Nazareth bertobat, tetapi tobat ini tobat orang dewasa, bukan tobat ala anak-anak yang terhubung dengan dosa ini itu, melainkan tobat dewasa yang memperluas perspektif hidupnya. Ia menyadari bahwa ia tidak tercipta hanya untuk keluarga Daud, tetapi untuk siapa saja yang mau datang kepadanya. Nah, caranya menyembuhkan orang tuli itu juga ternyata memakai eksklusi juga. Ia memisahkan orang tuli itu dari kerumunan orang banyak dulu. Eksklusi dipakai bukan saja supaya orang sakit tak terkontaminasi, melainkan lebih-lebih supaya orang lebih terhubung secara pribadi dengan belas kasih Allah.
Belas kasih itu menyatakan kepada saya bahwa juga dalam institusi suci pun mesti ada saja para pendosa, seperti saya, yang justru karena itu membutuhkan pertobatan dan pembaruan terus menerus.
Tuhan, mohon rahmat belas kasih-Mu supaya kami sungguh dapat hidup di hadirat-Mu. Amin.
JUMAT BIASA V A/2
Pw S. Sirilus dan Metodius
14 Februari 2020
1Raj 11,29-32; 12,19
Mrk 7,31-37
Posting Tahun B/2 2018: Ke Asmat Ah…
Categories: Daily Reflection