Pastor Galfok

Ada riset internasional yang reportasenya diberi judul “Kemunafikan Pemimpin Gereja Jadi Alasan Generasi Muda Enggan ke Gereja”. Bisa diakses pada tautan ini, dengan sumbernya mungkin pada tautan ini.

Saya bisa bersimpati reportase riset itu meskipun tampaknya difokuskan pada lingkungan Gereja Protestan di 35 negara. Bukan apa-apa, dulu saya memang menggebu-gebu ingin jadi pastor di ibukota karena proyeksi saya ke depan tantangannya warbyasak dan yang saya bayangkan pastornya mesti bakal galfok dan misinya jadi numpuk duit. Tumpukan duit itu bisa jadi moge, bisa jadi apartemen, bisa jadi entah apa lagi. Jebulnya, proyeksi saya itu ada benarnya.

Beriman memang tidak mudah, apalagi mengajak orang untuk beriman karena yang dibutuhkan tak lain adalah kesaksian: lha kalau beriman saja tak menggubris rasa keadilan, ngapain mesti beriman, kan?
Tentu saya tidak mengatakan bahwa yang galfok itu cuma para pastor di ibukota, di anak-anak kota juga bisa. Saya pun tidak mengklaim diri bersih dari kegalfokan. Akan tetapi, sekurang-kurangnya ujung galfok saya tidak sampai jadi moge atau apartemen. Kasi tau gak ya.😂

Teks bacaan ketiga hari ini adalah argumentasi Guru dari Nazareth yang dituduh para pemuka agama Yahudi sebagai orang yang hendak meruntuhkan Taurat. Semua orang mengerti betul bahwa Taurat adalah teks suci yang diberikan Allah sendiri. Akan tetapi, jauh sebelum ilmu hermeneutika berkembang, Guru dari Nazareth ini mengerti bahwa yang disebut teks suci bukanlah rumusan kata-kata dalam Kitab Suci, bukan kertas yang menampung rumusan itu, bukan cover kitab, juga bukan sertifikat dari lembaga agama.

Firman Allah atau Sabda Allah atau kalimat Allah tidak terletak pada wujud fisiknya, melainkan pada roh yang ‘mendasari’ wujud fisik itu. Maka dari itu, tak mengherankan bahwa di kalangan orang beragama justru banyak pertentangan karena galfok juga: bilangnya tidak menyembah berhala, tetapi mati-matian membela doktrin; katanya cuma punya satu Allah, tetapi mati-matian juga membela ideologi agama; katanya mengimani sosok Yesus Kristus, tetapi hobi ke tukang ramal dan berdukun serta berjimat ria, dan seterusnya.

Guru dari Nazareth mengklaim bahwa ia datang tidak untuk menghancurkan Taurat, melainkan menggenapinya. Kalimat itu merujuk pada apa yang dikatakannya sebelum argumentasi dalam teks bacaan hari ini. Ia mengatakan sabda bahagia tentang orang miskin: berbahagialah mereka yang miskin, bla bla bla.
Nasihat ini benar-benar dianggap menista Taurat. Semua orang tahu bahwa rahmat Allah itu membuat hidup orang berkelimpahan, lha kok Guru dari Nazareth ini malah menyatakan berkat itu tertuju pada kaum miskin!

Yang dihancurkan Guru ini bukan Tauratnya, melainkan cara orang membaca Taurat, yang sangat tidak kontekstual. Pembacaan macam begini justru membuat Taurat jadi berhala. Guru dari Nazareth membongkar paradigma orang sezamannya: kalau rahmat Allah itu memang kesejahteraan, justru perlu dipersoalkan mengapa kesejahteraan itu cuma diklaim untuk sekelompok orang, kenapa ketersebarannya minim? Apa Allah sedemikian kikir?
Jalan untuk merealisasikan kenyataan Allah yang maharahim dan mahamurah justru ada dalam konteks memperjuangkan keadilan sosial. Tidak ada keadilan sosial yang titik pijaknya pada teologi kemakmuran.

Ya Allah, mohon terang Roh-Mu sehingga kami semakin memahami arti ketaatan pada kehendak-Mu. Amin.


HARI MINGGU BIASA VI A/2
16 Februari 2020

Sir 15,15-20
1Kor 2,6-10
Mat 5,17-37

Posting Tahun A/1 2017: Nyoblos Nomor Berapa Ya?
Posting Tahun A/2 2014: Faith from Within