Mana Buktinya

Sebetulnya wajar saja, kan, ya bahwa orang minta tanda apakah pasangannya betul-betul cinta atau tidak? Betul, kan, orang perlu meyakinkan dirinya bahwa relasinya dengan pasangannya itu memang sewajarnya relasi penuh cinta? Bukankah memang seharusnya begitu?

Khawatirkah Anda kalau robot atau komputer bisa berpikir seperti manusia? Yang mengerikan ialah kalau manusia berpikir seperti komputer! Betul-salah, boleh-tak boleh, bagus-jelek, modern-kuno, besar-kecil, banyak-sedikit, semua dikalkulasi dengan kuantitas terprogram dan kalau tidak memenuhi takarannya: hancurkan, buang, bunuh, singkirkan, dan sejenisnya.

Persoalannya bukan bahwa orang tak perlu tanda atau tak boleh meminta tanda. Akan tetapi, silakan Anda imajinasikan sendiri apa yang Anda rasakan atau Anda pikirkan jika teman Anda bertanya kepada Anda dan Anda menjawabnya secara jujur dan tulus, lalu Anda tahu bahwa teman Anda itu di belakang Anda meminta informasi untuk memastikan bahwa jawaban Anda itu memang jujur dan tulus. Saya kira, Anda akan merasa kurang dipercaya oleh teman Anda itu. Begitu, kan?

Apakah Guru dari Nazareth yang dalam teks hari ini mengeluh karena orang Farisi meminta tanda itu tersinggung dan merasa tidak dipercaya?
Saya tak tahu, tapi mungkin juga persoalannya bukan lagi personal bahwa Sang Guru tersinggung. Ini soal prinsip.

Permintaan orang Farisi itu memang logis. Kalau orang mengklaim bahwa dirinya adalah king of the king, tentu dia mesti membuktikan dong dari mana legitimasinya. Kalau pilihan rakyat, ya mesti lewat pemilu. Kalau pilihan Allah? Lebih runyam lagi membuktikannya, kan? Bagaimana Anda mau membuktikan bahwa si anu adalah Nabi Allah sungguhan? Paling banter kan juga cuma ‘katanya si anu’. Padahal, bagaimana ‘si anu’ tadi membuktikannya?

Bagi orang Farisi ini, kemampuan Guru menyembuhkan orang sakit dan melakukan aneka mukjizat tidak jadi bukti apa-apa karena tidak terjadi di depan mata mereka. Mereka tak cukup percaya kepada rumor bahwa Guru dari Nazareth melakukan mukjizat. Mereka mau minta tanda yang konkret sungguhan apa buktinya kalau Guru dari Nazareth ini memang Mesias yang dinantikan orang Israel.

Dalam diri orang seperti ini, relasi dengan dunia sekelilingnya diletakkan dalam kerangka subjek-objek atau dalam bahasa Martin Buber relasi ‘I-it’. Seorang pribadi tak lebih dari ‘it’, yang bisa diomongkan di belakang tanpa diajak bicara langsung. Tak hanya orang, bahkan Tuhan pun dimengerti sebagai ‘it’, sekalipun dibesar-besarkan dengan ‘IT’. Hambok Allah itu dibilang satu-satunya dan mahabesar, pokoknya ya ‘IT’, tak pernah menjadi ‘YOU’ atau ‘I’ yang lain.

Dengan begitu, orang Farisi ini meminta supaya Guru dari Nazareth mendemonstrasikan apa yang ada di kepala mereka sendiri, sementara mereka tak pernah mau melihat kenyataan di luar diri mereka. Dalam diri orang seperti ini, Tuhan juga diletakkan dalam rencana dan harapan mereka sendiri. Tuhan menjadi proyeksi pikiran mereka. Bukan mereka yang mengikuti pikiran Allah, melainkan Allah yang mesti mengikuti pikiran mereka. Allah mesti mengikuti kategori manusiawi mereka. Wajarlah Guru dari Nazareth itu menyingkir, tidak memberi bukti apa-apa, karena memang persoalannya bukan bukti lagi, melainkan hati yang sudah mati, yang tak terbuka pada relasi.

Ya Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk membangun relasi autentik dengan aneka macam pribadi. Amin.


SENIN BIASA VI A/2
17 Februari 2020

Yak 1,1-11
Mrk 8,11-13

Posting Tahun B/2 2018: Godaan Yang Membahagiakan
Posting Tahun A/2 2014: Basic Attitude toward Conversion