Pernahkah Anda melihat guru dan murid berkelahi, saling pukul? Agak aneh memang, mosok guru dan murid malah berantem. Tapi begitulah adanya kalau murid itu memang ikut kursus berantem; suatu kali si murid mesti berantem dengan gurunya untuk mempelajari ilmu berantem yang dimiliki gurunya.
Narasi hari ini tidak menyodorkan pertengkaran guru-murid ilmu berantem, melainkan pertengkaran wacana karena murid yang tak kunjung paham atas apa yang diajarkan gurunya. Mungkin lebih tepatnya bukan pertengkaran ya karena yang bertengkar adalah para murid. Gurunya cuma menegur mereka yang bertengkar itu.
Kenapa Guru dari Nazareth menegur murid-murid yang bertengkar?
Ini berhubungan dengan soal yang dipertengkarkan para murid itu.
Di antara mereka itu ada keyakinan mengenai kedatangan Mesias, dan jangan kira Mesias itu cuma sejenis makanan. Bagi bangsa Yahudi, Mesias itu multitafsir. Ada yang menafsirkannya sebagai raja (Mrk 15,9.32), sebagai Yang Suci dari Allah (Mrk 1,24), sebagai penghasut (Luk 23.5), sebagai guru besar (Yoh 4,25; Mrk 1, 22.27), sebagai hakim (Luk 3,5-9; Mrk 1,8), atau sebagai nabi (Mrk 6,4; 14,65). Akan tetapi, rupanya tak ada yang menafsirkannya sebagai hamba seperti dinubuatkan oleh Yesaya (Yes 42,1; 49,3; 52,13). Kenapa ya, kira-kira?
Karena gambaran Mesias dalam Yesaya itu juga memuat unsur penderitaan nan mengerikan (Yes 52,14). Jal, mana ada promotor king of the king mengharapkan dirinya bakal ditangkap polisi? Mana ada ahlinya ahli berlagak tidak ahli? Motivator tentu meminta orang menggantungkan cita-cita setinggi langit, supaya kalau gagal pun, masih setinggi bintang. Mesias tentulah sosok yang mengagumkan, dan bukan sosok hamba yang buruk rupanya karena menanggung derita.
Para murid gagal menangkap ajaran Guru mereka dan cenderung menangkap ajaran itu seturut harapan individual mereka seturut posisi yang mereka inginkan. Orang beriman juga tak jauh-jauh dari para murid itu: menafsirkan Mesias seturut proyeksi harapan individual mereka sendiri. Manusia lemah, lalu menggambarkan Allah sebagai super kuat. Manusia kecil, lalu menggambarkan Allah sebagai mahabesar. Manusia suka dosa, lalu meyakini bahwa Allah maha pengampun.
Loh, ya memang Allah maha pengampun, kan, Rom?
Iya, tetapi bukan karena proyeksi manusia yang suka dosa. Kalau begitu saja, njuk Tuhan dimaknai seturut kepentingan orang. Yang maunya status quo ya menyebut Allah sebagai sosok pelindung orang benar. Yang maunya terlepas dari perbudakan menyebut Allah sebagai pembebas. Yang maunya dagangannya laris manis mengharapkan Allah yang pemurah, dan seterusnya.
Demikianlah, Mesias juga direduksi sebagai sosok pemenuhan harapan kepentingan orang, seturut kelas sosialnya. Wajarlah Guru dari Nazareth menegur murid-muridnya.
Dia mengingatkan para muridnya supaya tak termakan virus kuasa Herodes maupun Farisi. Penguasa politik dan agama cuma berpikir soal menang-menangan, dan modalnya seperti sudah disinggung kemarin: pola relasi ‘I-it’ yang mengobjekkan apa saja di luar subjek. Itulah yang sedang terjadi pada murid-muridnya: mereka lebih fokus pada makanan daripada relasi personal dengan Allah yang memberi makan begitu banyak orang; mereka lebih fokus pada apa yang meringankan mereka daripada usaha untuk terlibat meringankan beban dunia, hidup bersama.
Ya Allah, ajarilah kami untuk membongkar paradigma kekuasaan dan menggantinya dengan paradigma kerja sama dengan-Mu dan sesama. Amin.
SELASA BIASA A/2
18 Februari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Jogja, Kamu Bisa!
Posting Tahun A/2 2014: You Miss The Point, Bro’
Categories: Daily Reflection