Memang tidak mudah membesarkan hati orang yang minim kepercayaan diri, seperti membuka hati orang yang hidup keagamaannya dangkal. Kenapa? Karena keduanya bisa mengambil wujud yang persis bertolak belakang. Orang minder memanifestasikan kesombongannya. Orang culun mengedepankan kepintaran versinya sendiri seakan-akan itulah kebijaksanaan tertinggi di semesta ini. Orang macam ini tak bisa mengevaluasi diri dan sekitar apa adanya. Semua diputarbalikkan sedemikian rupa sehingga yang benar cuma yang dinilainya sendiri. Kalau unsur power dan violence ikut-ikutan, makin runyam persoalannya: mulai dari menyiapkan perangkat hukum kebal kritik sampai melakukan persekusi, eaaaa…. mainan apa lagi ini ya.
Tetangga kamar saya kemarin dulu terkena pedang pada kepalanya ketika memimpin ibadat. Dia ini memang pribadi pemberani dan saya bisa mengerti pergumulannya selagi memimpin ibadat diserang orang kalap dan berujung pada keputusan untuk tetap tinggal di tempat alih-alih melarikan diri. Saya juga mengerti bagaimana dengan mudahnya dia mengampuni pelaku penyerangan itu. Lha mau apa lagi? Wong yang melakukannya juga ‘tak mengerti’ apa yang mereka perbuat, minim kepercayaan diri (karena maksim arogansi). Terhadap orang seperti ini memang langkah terbaik adalah menghayati “ampunilah mereka karena mereka tak tahu apa yang mereka perbuat”.
Teks bacaan hari ini menginsinuasikan keheranan, kegemasan, kejengkelan seorang guru (barangkali juga karena saya yang membacanya punya rasa-rasa itu) terhadap murid-muridnya sendiri. Ia memberi wanti-wanti supaya para murid waspada, berjaga-jaga terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes. Mereka gak ngerti maksud nasihat itu, lha kok alih-alih bertanya malah ribut mengenai makanan! Mentang-mentang guru menyebut ‘ragi’! Sedemikian gemasnya guru itu sampai dia menyinggung-nyinggung merk kaos dari Jogja: kamu tuh kan punya mata, mosok gak liat? Kalau dalam bahasa Jawa, untuk orang Jawa, memang ungkapannya jadi kasar: matamu (nang êndi)!
Wanti-wanti guru dari Nazareth itu analog dengan warning zaman now: waspadalah dengan politik identitas! Di situ ada ragi kepalsuan, kemunafikan, kebohongan, penipuan, kepentingan diri sempit, imoralitas yang melahirkan imoralitas yang lebih besar lagi. Apa gejalanya ragi itu bekerja? Begitu dalam pikiran orang ditanamkan keyakinan bahwa di dunia ini ada agama tertentu yang berhak mendapat winning award sebagai agama terbaik.
Loh, bukannya Romo sendiri mengajarkan bahwa Kristus satu-satunya jalan, hidup, dan kebenaran? Betul, tetapi isi rumusan itu tak bisa ditafsirkan dengan keyakinan mengenai agama terbaik tadi. Saya belajar dari ungkapan Muhammad Iqbal, filsuf dari India-Pakistan, ketika ia ditanyai oleh orang ateis apakah Tuhan itu eksis. Apa jawabannya? Katanya dia bertanya balik,”Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mesti tahu dulu apa yang Anda maksud dengan Tuhan dan eksis.” Jebulnya, orang ateis itu juga tak tahu maksud kata ‘Tuhan’ dan ‘eksis’. Lha njuk mau dijelaskan gimana, jal?
Sudah lama Jogja punya kemampuan menerima keragaman kultur, tetapi kalau tak waspada, ideologi keseragaman bisa merajalela. Tak usah bangga dan mengharap label city of tolerance. Sejujurnya, saya tak suka kata toleransi, tetapi kalau istilah itu tetap mau dipakai, pesan saya jadi paradoks: jangan toleran terhadap intoleransi karena semakin toleran malah semakin intoleran. Bingung ra, Son?
Tuhan, buatlah kami berbeda tetapi satu. Amin.
SELASA BIASA B/2
13 Februari 2018
Posting Tahun A/1 2017: Tuhan Saja Bertobat
Posting Tahun B/1 2015: Hatinya Mana?
Posting Tahun A/2 2014: You Miss The Point, Bro’
Categories: Daily Reflection