Ini curcol saja berkenaan dengan teks bacaan hari ini soal hikmat dari atas dan hikmat dari bawah, dan tak perlu memusingkan pembagian atas bawah itu karena pada zaman now keduanya bisa saling silang. Dulu sekali, ketika saya belum lama diizinkan jadi imam Gereja Katolik, saya pernah didatangi serombongan anak muda pada tengah malam persis ketika kaki terakhir saya terangkat dari lantai hendak tidur. Tidak ada pastor lain di pastoran saat itu, dan sebetulnya gerbang sudah digembok, tetapi anak-anak muda itu mengantuk-antukkan gembok ke pagar besi sehingga bunyinya memang mengganggu juga. Terpaksalah saya, dan sungguh terpaksa, saya berganti pakaian dan keluar menemui anak-anak muda ini.
Semula cuma dua orang, meminta saya membantu temannya yang kerasukan. Ebuset, emangnya gue apaan? Saya minta anak-anak itu membawa temannya ke tempat lain (karena saya tahu bahwa mereka bukan warga tempat saya dan bisa jadi bukan warga gereja saya), tetapi mereka terus mendesak sampai akhirnya sepucuk taksi berhenti di belakang anak-anak ini diiringi beberapa motor. Sekitar dua puluhan anak muda di situ. Pintu taksi membuka dan seorang anak perempuan dipegangi teman-temannya, meronta-ronta.
Ya sudahlah, berhubung yang meronta-ronta perempuan (just kidding biar lucu), saya minta karyawan membuka gembok dan mereka saya suruh masuk ke ruang tamu. Saya sendiri ke dalam sembari merenung,”Apa toh dosaku sehingga kerjaan begini mesti kutanggung?”🤣🤣🤣
Saya bukan pengusir setan; tak pernah menonton, tak pernah belajar, tak punya buku pegangan, dan seterusnya. Akan tetapi, pada saat yang singkat itu juga sebetulnya saya meyakini bahwa ini pasti bukan kerasukan beneran sehingga mesti dilakukan upacara eksorsisme. Nah, cuma, saya belum tahu mesti berbuat apa. Saya bukan pengusir setan.
Saya mengambil air putih, lalu kembali ke tempat anak-anak muda tadi berkumpul dan si anak perempuan itu masih meronta-ronta dengan ceracau yang tak jelas. Saya tawari minum dan saya sodorkan air putih itu ke mulutnya, tapi disemburkannya air itu. Kalau yang menyemburkan pacar saya, mungkin lain ceritanya ya (just kidding biar lucu). Saya masuk ke dalam mengembalikan gelas. Sebetulnya sambil mencari cara, ini mau diapakan. Saya bukan pengusir setan.
Saat kembali ke ruang tamu, saya merogoh tasbih rosario dan saya tanya pada anak-anak itu apakah ada yang membawa rosario. Tak seorang pun. Saya mengajak mereka berdoa rosario, saya sendiri membisikkan kalimat zikir rosario ke telinga anak yang meronta-ronta ini. [Belakangan saya baru mengerti bahwa di antara mereka tak satu pun yang beragama Katolik. Jadi selama dua puluh menit itu saya berdoa sendirian! Mereka cuma menonton. Asem tenan og! Ya bisa jadi mereka ikut berdoa sih, dengan cara mereka.] Anak itu siuman, dan selanjutnya tidak usah saya ceritakan ya. Pokoknya saya memarahi anak itu [baru siuman malah dimarahi😂]. Dia bukan anggota Gereja saya, tetapi dia pergi ke Gereja lain yang membuatnya mengalami penampakan mengerikan, katanya.
Saya cuma membagikan pengalaman pribadi saya ini: saya bukan pengusir setan, saya cuma berusaha membantu supaya orang connect dengan realitas, klik dengan Allahnya sendiri. Selanjutnya, biar Allah yang mengusir ‘penyetannya’. Gampang, kan?🤣
Tuhan, semoga kami senantiasa mendengarkan Sabda-Mu. Amin.
SENIN BIASA VII A/2
24 Februari 2020
Posting Tahun A/2 2014: Prayer: Recognition of God’s Way
Categories: Daily Reflection
Hahahahahaha, kebacanya “penyet’-an. Kirain ayam penyet gitu.
LikeLike
Memang biar dibaca begitu…
LikeLike