Saya tidak pernah melupakan kematian teman akibat kakak kelas yang ngeprank alias jahil terhadap teman saya: menarik kursi pada saat teman saya hendak duduk. Karena saya tak melihat langsung kejadian teman saya jatuh dan cuma melihat kakak kelas saya tertawa dan saya anak baru dan berasal dari tanah perantauan yang rawan dengan stigma anak kota belagu, saya hanya menahan geram. Akan tetapi, wajah tawa kakak kelas itu tak hilang dari memori saya. Saya lupa namanya tetapi tak berminat mengingat-ingat namanya (meskipun dengan mudah saya bisa bertanya pada kakak kelas); bisa jadi di balik tawanya tersembunyi sedikit penyesalan.
Memang teman saya tak langsung meninggal atau buta setelah jatuh terduduk. Kalau begitu, mungkin kegeraman saya tak bertahan lama karena kakak kelas dan teman-teman lain bisa langsung paham bahwa tidak semua prank semata adalah soal kejahilan lucu-lucuan. Teman saya ini gegar otak dan tak mampu melanjutkan sekolah, berpindah sekolah pun mengalami kesulitan, dan akhirnya meninggal pada usia yang sangat muda… akibat prank itu.
Memori ini muncul setelah membaca berita meninggalnya dua anak akibat keisengan hadiah ulang tahun dengan mendorong yang berulang tahun ke underpass yang tergenang air di Kulonprogo, tak lama berselang dari kabar meninggalnya siswa pramuka yang menyusuri Sungai Sempor.
Tragis, memang. Prihatin, sangat. Geram, itulah yang saya rasakan. Semua orang mati, bagaimana pun caranya. Akan tetapi, dari caranyalah kelihatan bagaimana orang memperlakukan diri sendiri dan sesamanya. Tragedi yang sesungguhnya terjadi ketika orang, kembali lagi ke ulasan lalu, membangun relasi ‘I-it‘, relasi kekuasaan, yang satu mengobjekkan yang lainnya: sebagai bahan tertawaan, penindasan, pemuasan, gelojoh, perundungan, penjajahan, dan seterusnya.
Loh, Rom, mana mungkin dunia ini tanpa tragedi? Bukankah hidup ini sendiri memang penderitaan?
Betul, tetapi “hidup adalah penderitaan” itu bukanlah berita faktual. Kan tadi sudah dibilang, semua orang mati, bagaimana pun caranya. Ada yang penyebabnya natural, tetapi ada yang penyebabnya human error. Yang kedua itulah tragedi sesungguhnya: campur tangan manusia yang berparadigma relasi ‘I-it‘, entah karena arogansi (penutup ketidakmampuan atau rasa mindernya), kebodohan (tetapi justru karena itu merasa sok tahu: mendorong orang bak mencemplungkan kodok yang tak perlu lagi belajar berenang). Apa pun alasannya, human error ini membuat potensi penderitaan yang sebetulnya sesuatu yang potensial menjadi faktual, jadi kenyataan.
Tentu saja, seturut nasihat bacaan pertama, rasa geram terhadap human error itu tak perlu dipupuk menjadi kebencian atau niat balas dendam. Artinya, tak perlu ikut-ikutan melakukan human error dengan memegahkan diri atas manusia lain alias memperlakukannya sebagai ‘it‘ yang bisa divonis dengan hikmat manusiawi sendiri. Kalau itu terjadi, orang beriman mencicipi kesempurnaan Allah, yang memperlakukan siapa saja yang bolak-balik melakukan human error sebagai makhluk yang senantiasa bisa belajar untuk menekan errornya. Error yang berat ya itu tadi, memandang manusia bukan lagi sebagai manusia, melainkan objek seperti hewan atau bahkan benda mati yang tak punya kebebasan.
Lah, hewan tuh bukannya bebas ya, Rom? #halah…
Tuhan, ajarkanlah kesempurnaan-Mu supaya kami dapat mencintai makhluk-Mu seturut apa yang pantas bagi kami untuk mencintai-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA VII A/2
23 Februari 2020
Im 19,1-2.17-18
1Kor 3,16-23
Mat 5,38-48
Posting Tahun A/1 2017: Cinta Nol Rupiah
Posting Tahun A/2 2014: He’s The Lord of All
Categories: Daily Reflection