Tadi malam kami menonton film kebinatangan berjudul Babe. Babe ini adalah panggilan sayang untuk seekor babi yang nasibnya berbeda dari nasib ibu dan saudara-saudaranya di peternakan babi. Mereka semua digemukkan untuk disembelih pada saatnya. Peziarahan hidup Babe berbeda. Babe dijual dan dipakai untuk lotre tebak berat badannya dan pemenangnya Arthur Hogget, pemilik aneka binatang di rumah peternakannya. Dari peternakan homogen, Babe beradaptasi dengan peternakan heterogen. Di situlah ia menemui seekor bebek yang mengalami krisis identitas. Pertama, karena tak suka menjadi bebek, ia selalu merebut peran ayam untuk berkokok. Kedua, perannya terancam oleh jam waker keluarga Hogget, dan bisa-bisa ia mengalami nasib seperti bebek lain: digemukkan untuk disantap manusia.
Dalam perjalanan hidupnya, Babe juga seperti bebek, mengambil peran lain sebagai penggembala domba tanpa kehilangan autentisitasnya sebagai Babe yang senantiasa dapat berdialog sampai akhirnya ia diikutkan lomba penggembala domba dan menang. Thanks to kemampuannya berdialog. Akan tetapi, tentu ada pihak lain yang berperan. Pertama, bunda domba yang mengingatkannya bahwa menggigit bukanlah karakter Babe bahkan meskipun ia mesti mengambil peran penggembala. Kedua, bunda anjing sejak awal memahami kegalauan Babe dan di akhir menengarai kesulitan Babe berdialog dengan domba-domba yang harus digiringnya dalam lomba.
Teks bacaan kedua hari ini menunjukkan adegan detik-detik terakhir hidup Guru dari Nazareth dalam pelayanan publiknya. Pada momen terakhir itu, ada sosok yang hadir sebagaimana ia hadir pada awal pelayanan publiknya: Bunda Maria. Pada awal pelayanannya, Guru dari Nazareth mengingatkan bundanya bahwa ‘saatnya belum tiba’. Pada momen ‘saatnya sudah tiba’, Bunda Maria juga hadir di situ. Terlepas dari kegetiran dan kepahitan hidupnya, sosok bunda ini mengantarkan anaknya sampai paripurna misinya. Sepeninggal Guru dari Nazareth, Bunda Maria menerapkan new normal life bersama murid-murid putranya.
Tidak diceritakan dalam teks, tetapi di akhir film Babe tadi, kemenangan Babe meruntuhkan paradigma yang digenggam manusia mengenai nasib yang dapat diubah, mengenai kesuksesan, mengenai hidup bersama. Ayam dapat mengambil kembali perannya untuk berkokok (entah ke mana perginya waker modern itu). Semua yang mencemooh dia yang dipandang bodoh ikut riuh rendah merayakan kemenangan yang tersembunyi dalam kebodohan itu. Babe tidak menampilkan diri sebagai serigala yang mendapatkan legitimasi kekuasaan lewat kekerasan, tetapi lewat kemampuannya untuk mengomunikasikan visi hidup yang diperolehnya dari Arthur Hogget.
Bersamaan dengan peringatan Bunda Maria sebagai Bunda Gereja pada tahun ini, hari lahir Pancasila dirayakan. Ini adalah ideologi yang nasibnya tak jauh dari cinta: banyak diomongkan, entah positif atau negatif, tetapi kebanyakan omongan itu meleset persis karena partisipan yang membicarakannya belum punya kepercayaan diri mengenai identitasnya sendiri. Maka, semua penafsiran terhadapnya hanyalah cerminan dari tingkat kepercayaan diri penafsirnya.
Bunda Maria, dalam kepercayaan dirinya, memberi teladan kesetiaan menantikan momen berahmat (kairos) dalam kesendirian, tetapi juga dalam kebersamaan. Untuk itu, sepantasnya umat beriman bersyukur atas sosok bunda seperti ini, tanpa harus terpaku pada kenyataan yang kerap kali tak seideal seperti diteladankan Bunda Maria. Babe terjauhkan dari bunda kandungnya, tetapi mendapatkan asupan kebundaan dari pribadi-pribadi lain di sekelilingnya.
Semoga setiap umat beriman mendapat rahmat untuk mengembangkan kualitas kebundaan. Amin.
Peringatan Wajib SP Maria, Bunda Gereja
Senin sesudah Pentakosta
Hari Lahirnya Pancasila
1 Juni 2020
Kis 1,12-14 / Kej 3,9-15,20
Yoh 19,25-34
Categories: Daily Reflection