Overdosis

Setiap orang beriman, apa juga agamanya, adalah garam bagi dunia. Tanpa garam, apa pun merknya, dunia tanpa rasa dan garamnya sendiri tanpa guna di wadahnya. Susahnya hidup sebagai garam dunia ialah mempertahankan proporsi keasinannya tanpa mengurung diri pada wadahnya tetapi juga mempertahankan supaya keasinannya tidak jadi overdosis. Kalau terjadi overdosis, bisa-bisa dunia tak layak santap dan malah agama, merk garamnya itu, bisa-bisa jadi memuakkan. Entah cocok atau tidak analogi ini, pokoknya gitu deh

Teks bacaan hari ini tidak bicara mengenai garam dunia, tetapi soal proporsionalitas hidup orang beriman. Proporsional berarti sesuai takaran yang dipakai, dan penakarnya memang cocok dengan objek yang perlu ditakar. Kan gak lucu juga Anda mengukur jarak dengan timbangan dan sebaliknya menakar berat badan Anda dengan menggunakan penggaris (meskipun Anda tidak dilarang menimbang badan dengan membawa penggaris). Perkaranya belum selesai di situ: penakar itu tetap membutuhkan kalibrasi supaya akurasi takarannya tepat.

Jawaban Guru dari Nazareth atas pertanyaan dilematis dalam teks bacaan hari ini merupakan undangan kepada para penjebaknya supaya melakukan kalibrasi. Maklum, mereka ini adalah orang-orang muna‘ yang oportunis dalam berpolitik. Ya, memang begitulah politik: tak ada kawan atau lawan abadi di dalamnya. Yang ada ialah kepentingan abadi. Konon begitu slogannya. Akan tetapi, justru itulah yang perlu dikalibrasi: seberapa abadikah kepentingan politik itu? Seberapa abadikah kepentingan orang oportunis?

Kalibrasi yang disodorkan Guru dari Nazareth ini sebetulnya sederhana, tetapi bagi orang oportunis jadi rumit jalannya. Kenapa? Ya karena kepentingannya tidak sungguh-sungguh abadi, dengan tolok ukur untung rugi belaka. Kaum Herodian berseteru dengan kaum Farisi, yang kontra penjajah, karena karena mereka mendapatkan keuntungan dari birokrasi Herodes. Kaum Farisi, meskipun kontra penjajah, memakai juga uang yang diterbitkan kaum penjajah kafir. Dua kelompok oportunis itu bersama-sama menyerang Guru dari Nazareth yang punya kepentingan abadi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan sekitarnya.

Untuk mencapai keadilan sosial itulah, hidup orang mesti dikembalikan kepada pemberinya. Guru dari Nazareth tak ambil pusing dengan perkara-perkara duniawi, bukan karena tidak mengerti, melainkan justru karena meyakini bahwa perkara duniawi ya mesti dikelola seturut kompromi duniawi. Akan tetapi, pengelolaannya mesti dikembalikan pada paradigma hidup sebagai pemberian Allah sendiri. Maka, juga dalam penyelenggaraan kompromi duniawi, orang mesti berpatokan kepada keadilan Allah. Jadi, tidak ada salahnya orang membayar pajak kalau pajak itu memang dipakai untuk mewujudkan keadilan Allah. Jawaban itu menohok kaum Herodian maupun Farisi, yang kepentingan abadinya ternyata tidak cukup abadi, karena bermuara pada kepentingan mereka sendiri.

Kembali kepada garam dunia tadi: itulah contoh overdosis. Orang tidak beranjak dari wadahnya atau semuanya saja hendak dijadikannya sebagai wadah. Apa-apa saja ujung-ujungnya adalah kepentingan abadinya (yang tidak sungguh-sungguh abadi) yang tak pernah dikalibrasi dengan kepentingan Allah bagi dunia: keadilan sosial tadi. Tak mengherankan, aktivitas agama bisa jadi klaster penyebaran covid-19 karena keinginan untuk melewati lorong gelap tak mengindahkan kaidah keadilan sosial. Orang overdosis mengira ritual atas nama Allah lebih sakral daripada mengupayakan keadilan sosial. Lord, have mercy on us. Amin.


Selasa Biasa IX A/2
2 Juni 2020

2Ptr 3,12-15a;17-18 
Mrk 12,13-17

Selasa Biasa IX B/2 2018: Sekarang Poligambar 
Selasa Biasa IX A/1 2017: Pasti Orderan

Selasa Biasa IX B/1 2015: Duit buat Allah