Saya tidak tahu apakah ada agama yang memberikan endorsement untuk homoseksualitas, tetapi tokoh suci yang diperingati Gereja Katolik dan Anglikan hari ini, Karolus Lwanga cs, ada hubungannya dengan homoseksualitas. Karolus Lwanga menjadi pelindung karya pelayanan Gereja untuk kaum homoseksualitas. Itu tidak berarti Gereja memberikan endorsement kepada orang untuk jadi pegiat homoseksual. Sebaliknya! Karolus Lwanga tidak menyokong aktivitas homoseksual itu sendiri, tetapi mengundang siapa saja untuk menggapai kesucian alias kekudusan.
Lha, apakah orang homoseksual bisa menggapai kesucian?
Nah, itu dia. Ndelalahnya, bacaan hari ini ya klop dengan perkara seperti ini.
Karolus Lwanga itu hidup di Uganda pada paruh kedua abad XIX. Raja yang berkuasa, Mwanga II, saat dia jadi pegawai istana itu gemblung. Dia punya kompleks dalam istananya yang dikhususkan untuk praktik homoseksual ini. Dia ingin menghancurkan reputasi pegawai istana yang Katolik karena rupanya gereja Katolik itu mengganjal bisnis perbudakan dan mengancam kebiasaan tertentu suku-suku di Uganda. Alhasil, dipaksanyalah pegawai istananya yang Katolik untuk ikut dalam praktik homoseksual.
Karolus Lwanga melihat seniornya, Mukasa, orang Katolik pertama di Uganda, dihukum mati karena menolak permintaan gemblung rajanya. Keberanian Mukasa ini justru menarik banyak orang untuk mengikuti jalan hidupnya. Karolus Lwanga yang menggantikan Mukasa sebagai pegawai istana pun tak luput dari kegemblungan rajanya, tetapi ia juga punya sikap yang sama dengan seniornya. Nasibnya pun sama dengan seniornya. Ia dihukum mati dengan aneka siksaan sebelum wafatnya pada 3 Juni 1886.
Mengapa orang kudus ini dijadikan patron untuk mereka yang bekerja membantu kaum homoseksual? Justru karena ia menolak praktik homoseksual. Itu tak berarti Karolus Lwanga melawan kaum homoseksual. Penolakannya terhadap permintaan raja gemblung itu adalah kesaksiannya akan suatu hidup yang murni. Nah, ini yang kerap luput dari pemahaman orang konservatif atau pun progresif.
Baik mengharamkan kaum homoseksual maupun melegalkan perkawinan homoseksual adalah hal yang, saya yakin, ditentang Karolus Lwanga karena keduanya mengabaikan kemurnian hidup.
Begini nalarnya. Kemurnian hidup itu panggilan untuk semua orang, tak peduli suku, agama, orientasi seksual, (im)potensi, jenis kelaminnya. Untuk apa? Supaya hidup orang terarah pada kemuliaan Allah. Alhasil, kalau orang hidupnya murni, aneka basic instinct ini tidak jadi utama.
Gampangnya begini. Kalau Anda hidup murni, itu tidak menyangkal orientasi seksual atau tipe jodoh Anda. Anda bisa dhěg-dhěgan karena dada laki-laki atau perempuan, sakkarěpmu wis.😂 Persoalannya bukan kepada laki-laki atau perempuan Anda dhěg-dhěgan (karena bahkan Anda bisa saja dhěg-dhěgan terhadap keduanya), melainkan apa motif, tindakan, dan hasil yang Anda pilih akibat dari dhěg-dhěgan tadi: berorientasi narsistik atau AMDG, ujung-ujungnya kesenangan materialistik atau kebahagiaan sejati, dan seterusnya. Semakin orientasinya AMDG atau kebahagiaan yang sifatnya langgeng dan universal, semakin orang hidup murni.
Dengan demikian, entah Anda jomblo, janda, kaum selibat, atau berkeluarga, Anda dipanggil untuk kemurnian. Ini sama sekali bukan soal ja’im, melainkan soal intensi lurus pada kemuliaan hidup. Jangan kira hidup murni itu perkara biarawan/biarawati atau pertapa. Lihatlah bagaimana kehancuran keluarga terjadi justru karena hidup yang tidak murni: pil wil, bisnis lebih utama, hobi mendominasi, dan seterusnya. Maka, juga kaum homoseksualitas dipanggil untuk hidup murni sebagaimana kaum heteroseksual. Di sini, baik homoseksual maupun heteroseksual punya pergumulan untuk membangun kemurnian: menjadi homo (bahasa Latin: orang) with and for others.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan batin untuk senantiasa murni dalam pilihan-pilihan konkret kami demi kemuliaan-Mu. Amin.
RABU BIASA IX A/2
Pw S. Karolus Lwanga
3 Juni 2020
Rabu Biasa IX B/2 2018: Kelak Poliandri?
Rabu Biasa IX A/1 2017: God of the Living
Rabu Biasa IX C/2 2016: Mau Dikebiri Eaaa…
Rabu Biasa XI B/1 2015: Mari Rekayasa Chemistry
Categories: Daily Reflection