Pernahkah Anda bayangkan, misalnya, puluhan umat Katolik di pedalaman Papua merayakan ibadat dengan lagu-lagu gregorian dan bahasa Latin yang tak mereka pahami sama sekali? Dulu terjadi di seluruh dunia, ketika Gereja Katolik masih kental sebagai Gereja hirarkis. Mereka membawa kultur latin ke seluruh penjuru dunia, dan pada saat itu Roh Kudus yang sebelumnya hidup di aneka kultur mesti impor Roh Kudus dari Gereja Eropah!
Pernahkah Anda bertanya mengapa sebagian orang Kristiani menafsirkan bahasa Roh sebagai manifestasi suara atau kata-kata aneh yang penuturnya sendiri tak paham maknanya?
Saya berharap orang beragama jujur pada dirinya sendiri dan tidak dikacaukan oleh motif lain yang bisa sedemikian halus sehingga tampaknya klop dengan ‘logika’ iman tetapi sebetulnya tak lain dari kebutuhan psikis yang malah menyesatkannya. Dengan modus begitu, orang beragama bisa jadi nabi palsu, seperti kubur yang dipoles indah tetapi dalamnya busuk.
Markijur mari kita jujur: seperti Paska, Pentakosta adalah hari raya yang diadopsi orang Kristiani dari tradisi Yahudi. Bisa dimengerti karena penulis Kitab Sucinya sendiri perlu memberi penjelasan konteks kepada orang-orang Yahudi yang mengikuti Guru dari Nazareth. Paska orang Yahudi sebagai peringatan luputnya bangsa Israel dari cengkeraman orang Mesir diubah sebagai momen kebangkitan Yesus. Kebangkitan Yesus dicocokkan dengan kronologi tiga hari seperti dinubuatkan tulisan-tulisan para nabi sebelumnya.
Loh, ya memang begitu kan kenyataannya, Rom?
Tak sesederhana itu, Gus. Secara teologis dapat dimengerti bahwa kebangkitan Yesus terjadi pada momen wafatnya, karena kebangkitan ialah perkara hidup dalam dunia bersama Allah. Tak perlu menunggu tiga hari dalam kubur!
Begitu pula dengan Pentakosta; tak perlu menunggu tujuh minggu setelah Paska sebagaimana dirayakan orang Yahudi! Pemberian roh itu sudah terjadi sejak hidup dan kebangkitannya, sebagaimana dituliskan dalam teks bacaan ketiga hari ini.
Kalau gitu, kenapa penulis Lukas meletakkan pemberian Roh Kudus itu pada lima puluh hari setelah Paska, Rom?
Ya itu tadi, orang Yahudi punya tradisi Pentakosta: turunnya Taurat kepada Musa.
Mari lihat teksnya. Lukas tidak semata menulis Kisah Para Rasul sebagai rententan peristiwa sejarah. Memang judul kitabnya adalah Kisah Para Rasul, tetapi ini adalah sepak terjang para rasul dalam menanggapi Protagonis Kehidupan. Penuturan Lukas mengenai peristiwa Pentakosta pun adalah penggambaran imannya. bukan lagi perkara turunnya hukum taurat yang adanya ‘di luar sana’. Dalam teks dikatakan “Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing.”
Tentu saja tak ada angin keras atau nyala api di situ, tetapi penulis melukiskannya sebagai keyakinan imannya akan hadirnya Roh Kudus. Bukan suara angin yang tertangkap telinga dan nyala api yang tertangkap mata, melainkan kekuatan yang tertangkap telinga dan mata batin. [Mungkin posting Terima Kasih Ahong bisa membantu pemahaman kalimat ini.]
Apa tandanya bahwa kekuatan yang tertangkap telinga dan mata batin tadi memang Roh Kudus? New normal life!
Akan tetapi, segera perlu ditambahkan: ini bukan new normal life yang diatur dari luar dengan PSBB atau aturan agama sekalipun! Ini adalah new normal yang berasal dari kedalaman batin, bukan karena wajib, bukan karena harus, bukan karena ada sanksi, melainkan karena dorongan bahasa cinta Allah yang tertanam dalam batin. Maka dari itu, Pentakosta berlaku bagi semua orang: mewujudkan bahasa cinta dalam kulturnya masing-masing, pun jika kemudian diperlukan renovasi kultur.
Ya Allah, mohon rahmat keterbukaan akan Roh Kudus-Mu sehingga tersingkirlah segala modus dalam diri kami. Amin.
HARI RAYA PENTAKOSTA A/2
31 Mei 2020
Kis 2,1-11
1Kor 12,3b-7.12-13
Yoh 20,19-23
Posting 2017: Kursi Kosong?
Posting 2014: Pentakosta Sudah Dimulai
Categories: Daily Reflection