Kalau Anda bisa mengingat beberapa hal ini, mungkin Anda punya bakat untuk berjualan soto: soto daging tiga, tanpa nasi, tanpa kol, satu gak pakai micin. Kemarin saya memesan makan seperti itu; tiga kali penjualnya bertanya lagi apa yang saya pesan, dan tiga kali pula saya menjawabnya sembari dalam hati tertawa. Sadar diri, saya pun kalau berjualan soto mungkin akan bertanya sampai tujuh puluh kali tujuh.🤣 Saya tidak punya waktu untuk jengkel atau marah kepada penjual itu karena saya tinggal di kota woles bin selow. Lagipula, kemarin saya sudah belajar di balik alfabet. Di balik memori penjual soto yang ancur itu, saya mengerti bahwa si penjual ini berusaha semampunya dan ia memang bukan penjual yang biasanya melayani pembeli. Saya tidak merasa perlu kepo apa pekerjaannya sebelum membantu berjualan soto ini, tetapi jelas bagi saya bahwa ia berusaha memberikan pelayanan terbaiknya.
Teks bacaan hari ini tidak mengulas perkara kemampuan kognisi dan memori seseorang, tetapi perkara hati yang terbuka pada nilai keilahian. Teksnya sendiri adalah penjelasan perumpamaan yang disodorkan pada hari Rabu tahun lalu.🤭 Di situ dikatakan bahwa kepada mereka yang mendengar tentang nilai keilahian tetapi tidak (mau) mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu. Nah, mari kembali ke penjual soto yang bolak-balik bertanya soal pesanan saya itu. Apakah si jahat datang kepadanya dan merampas yang ditaburkan dalam hatinya?
Memori dan fokusnya mungkin memang dirampas, tetapi niat baik dan usahanya untuk melayani semampunya tetap ada di sana. Saya sempat mengganggunya dengan opsi yang saya sodorkan: dijadikan dua plastik saja tidak apa-apa (satu plastik tanpa micin, yang lainnya yang pakai micin), tetapi begitu melihat raut mukanya yang tampak kebingungan, saya membatalkan opsi saya itu. Pokoknya, sotonya dibungkus plastiklah, Mas, yang penting.😂
Hati adalah pusat aktivitas tindakan manusia, yang darinya bisa mengalir kebaikan dan kejahatan, prasangka dan pemahaman, arogansi dan kerendahhatian. Kecerdasan, kepandaian, memori, keterampilan, kecakapan, kecepatan, IQ, semuanya mengabdi hati tadi. Bagaimana pun argumentasi orang, serumit apa pun data yang dikumpulkan orang, serasional apa pun pemikiran orang, semuanya berpulang pada kualitas hati yang hendak dibela. Maksud saya, bahkan dari hati yang jahat bisa muncul aneka macam analisis keren nan memukau lengkap dengan ideologi yang sungguh-sungguh awesome. Akan tetapi, itu semua hanyalah kamuflase alias modus.
Sebaliknya, dari hati yang baik, bisa jadi semua tampilan amburadul, bahkan pikiran pun ngalor ngidul, tetapi hati yang seperti ini akan lebih lentur untuk diarahkan oleh kebaikan. Dodol tetaplah dodol, tetapi kalau hatinya baik, orang dodol ini terbuka pada koreksi. Tidak, orang dodol tidak jadi pintar karena koreksi, tetapi sekurang-kurangnya hati orang dodol ini sadar bahwa dirinya dodol. Begitulah orang rendah hati: mengira dirinya dodol, dan kenyataannya memang begitu. Yang bikin hidup jadi susah itu kan kalau orang dodol, tapi hatinya bebal, jadi makanan empuk bagi arogansi si jahat, yang tak bisa mengira dirinya dodol. Padahal, di sana-sini sudah ditunjukkan dengan aneka cara bahwa manusia itu ambyar.
Tuhan, mohon rahmat kejujuran hati supaya cinta-Mu semakin konkret dalam hidup kami. Amin.
JUMAT BIASA XVI A/2
24 Juli 2020
Jumat Biasa XVI B/2 2018: Mission Impossible
Categories: Daily Reflection
1 reply ›