Di Balik Alfabet

Seorang rabi Yahudi, Lawrence Kushner, menulis suatu introduksi terhadap alfabet Ibrani sebagai sebuah pendekatan kerohanian kontemporer. Judul bukunya (Sefer Otiyot) The Book of Letters: A Mystical Alef-bait. Dalam uraiannya, alfabet bukan sekadar kumpulan huruf, melainkan juga simbol sejarah, filsafat, dan hidup orang-orang Yahudi. Saya kutipkan huruf pertama saja ya: alef. Saya tak bisa menuliskan karakternya, tetapi pokoknya itulah huruf pertama. Huruf pertama ini katanya tanpa bunyi, selain suara yang Anda buat ketika Anda mulai membuat suara. Piyé jal? Bukalah mulut Anda dan mulai membuat suara apa saja dari mulut itu. Begitu suara hendak keluar, setop! Itulah alef.😂 Suara yang mendahului suara apa pun dari mulut.

Sebetulnya saya ya belum mengerti, tetapi pelajaran itu membuat saya tersadar bahwa ada hal-hal yang luput dari perhatian saya bahkan meskipun sejak kecil saya sudah akrab dengan hal-hal itu. Orang tahunya belakangan setelah merefleksikannya. Kushner benar: God was in this place; I did not know atau mungkin bisa juga diparafrasekan: In that place there was God and I did not know.

Teks bacaan hari ini bicara mengenai misteri Kerajaan Allah yang rupanya diketahui dengan cara beragam, sedemikian rupa sehingga bahkan orang yang melihat dan mendengar setiap hari pun belum tentu memahaminya. Murid-murid Guru dari Nazareth kepo mengapa kepada orang banyak guru mereka mengajar dalam perumpamaan, dan dijawab bahwa mereka para murid punya cukup rahmat untuk menangkap misteri itu, tetapi orang banyak tidak. Nah, sekarang malah saya yang kepo: perumpamaan itu memudahkan atau mempersulit orang banyak untuk menangkap misteri ya?

Kalau perumpamaan itu mempersulit, njuk apa maksudnya Guru dari Nazareth itu menyodorkan aneka perumpamaan kepada orang banyak? Mau mempersulit mereka untuk mengerti? Sebaliknya, kalau perumpamaan itu mempermudah orang banyak untuk memahami misteri Kerajaan Allah, trus kenapa kok orang banyak tak mengerti-mengerti juga? Apa semata demi supaya cocok dengan nubuat Yesaya: sekalipun mendengar, mereka tak mengerti?
Mboh wis. Yang jelas, kalau mempertimbangkan apa yang diupayakan rabi Kushner tadi, tampaknya memahami Sabda Allah tak bisa ditempuh dengan sekadar mengandalkan kebiasaan mendengar rumusan mantra.

Mengandaikan Sabda Allah jelas mak cling begitu saja tanpa upaya penalaran reflektif hanya akan mengantar orang di kedangkalan, hatinya tetap mengeras. Modalnya cuma ‘mentang-mentang’ atau mendompleng nama besar orang lain atau berlindung di balik kategori mayoritas. Supaya tak jatuh ke sikap rohani seperti ini, setiap orang beriman senantiasa diundang untuk terus merefleksikan apa saja yang taken for granted dalam penghayatan imannya. Bulan lalu saya ambil featured image dengan tulisan itu: when you take things for granted, the things you are granted, get taken. Tanpa ambil waktu untuk refleksi, bahkan Sabda Allah yang ditujukan kepada Anda dan saya akan lewat begitu saja sebelum kita menangkap maksudnya. 

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengenali cinta-Mu yang tersembunyi dalam kisah hidup kami yang serba biasa. Amin.


KAMIS BIASA XVI A/2
23 Juli 2020

Yer 2,1-3.7-8.12-13
Mat 13,10-17

Kamis Biasa XVI B/2 2018: Bukan Sulap Bukan Sihir
Kamis Biasa XVI A/2 2014: Kampanye Belum Selesai Brow