Mati Hidup Ikut Aja

Ini kelanjutan catatan hari Senin lalu, Hijrah. Nota béné: kisah dalam teks bacaan hari ini, sekurang-kurangnya dalam keyakinan saya, bukan laporan peristiwa sejarah, melainkan refleksi teologis penulisnya. Maka, bahwa Guru dari Nazareth ke bukit dan berdoa seorang diri tak perlulah dibayangkan bahwa beliau ke bukit ini atau itu sendirian. Bahasa Kitab Suci itu mengindikasikan orang yang punya relasi personal dan intim dengan Allahnya. Anda ingat kisah Musa, Abraham, Elia yang mengambil latar bukit atau gunung sebagai lokasi perjumpaan mereka dengan Allah.

Sekarang mari lihat apa yang digambarkan penulis mengenai para murid. Mereka ada dalam perahu, suatu simbol komunitas umat beriman, yang berlayar di malam hari. Malam hari bukan sekadar penunjuk waktu, melainkan pengingat orang pada kisah penciptaan, ketika Allah memisahkan terang dari gelap. Gelap dinamai malam, dan malam jadi simbol kekacauan, kematian, kekuatan jahat. Ini adalah gambaran konteks tulisan jemaat Matius sendiri yang waktu itu sedang ada dalam terpaan bahaya.

Menariknya, para murid tadi mengalami kesendirian juga: Guru dari Nazareth menyepi, meninggalkan mereka pergi ke bukit. Mereka berada dalam kegelapan, simbol disorientasi juga. Perahu mereka diombang-ambingkan gelombang. Kata terombang-ambing memang bisa jadi seperti orang main kora-kora di Dufan, tetapi sebetulnya kata kerja yang dipakai di situ adalah βασανιζόμενον (basanizomenon, Yunani) yang akar katanya berarti to torment, to torture. Lebih sadis. Konon, básanos  (bisa berarti a tormenting trial) merupakan batu yang sangat keras untuk menguji apakah suatu logam sungguh emas atau bukan. Gelombang laut itu benar-benar menyiksa dan menguji komunitas umat beriman.

Apa yang terjadi pada para murid di tengah badai yang menyiksa itu? Apakah mereka takut pada badai? Tidak, mereka sudah kenal medannya. Mereka takut ditelan laut selamanya. Anda ingat, laut bisa jadi simbol dunia orang mati juga. Sedemikian takutnya mereka sehingga mereka tak mengenali sosok yang mengatasi kematian. Guru dari Nazareth hadir dalam gelombang badai yang menerpa mereka. Akan tetapi, komunitas umat beriman yang larut dalam disorientasi karena gelombang itu tak sadar bahwa Tuhan ada juga di balik gelombang, mengatasi gelombang, mengalahkan dunia kematian.

Ini berkebalikan dengan teks bacaan pertama: Allah hadir dalam angin sepoi-sepoi, dalam ketenangan. Akan tetapi, kutipan hari ini menghilangkan pertanyaan dari Allah,”Ngapain kamu di situ?” Kalau begitu, Allah memang hadir dengan modalitas apa pun: saat tenang dan badai, saat sehat dan sakit, dalam untung dan malang, dalam usia pendek dan panjang, saat kaya dan miskin, dan seterusnya. Kalau begitu, yang diminta dari komunitas beriman bukanlah bahwa ia mesti sehat sepanjang segala abad atau miskin selamanya, melainkan bahwa dalam segala hal mereka perlu menatap kehadiran Allah dalam hidup mereka.

Ada ungkapan Jawa yang menggambarkan mentalitas umat beriman seperti itu: pějah gěsang ndhèrèk Gusti (mati hidup ikut Tuhan). Maksudnya, bahkan di ujung sakit atau di awal kemonceran hidup, orang menyadari bahwa lakunya ini diambil dalam kebersamaannya dengan Allah. Seluruh aktivitas bolehlah tersambung dengan hiruk pikuk duniawi, tetapi hati senantiasa terpaut pada-Nya. Kalau orang beriman sungguh hidup bersama Allah, mau bimbang bagaimana dan takut apa lagi?

Tuhan, ajarilah kami untuk senantiasa peka melihat kehadiran-Mu dalam aneka gelombang hidup maupun dalam ketenangan hidup kami. Amin.


MINGGU BIASA XIX A/2
9 Agustus 2020

1Raj 19,9a.11-13a
Rm 9,1-5

Mat 14,22-33

1 reply