Karakter

Ada masanya ketika pengelola lembaga pendidikan yang memberi subsidi bagi keluarga sederhana atau miskin mesti ekstra hati-hati saat negosiasi mengenai uang pangkal. Bukan karena keluarga-keluarga sederhana atau miskin itu tak punya banyak duit, melainkan karena keluarga-keluarga kaya yang pelit.🤭 Wujud kepelitannya adalah pencitraan: datang ke sekolah untuk wawancara keuangan dengan naik becak atau bahkan berjalan kaki, tanpa tas yang kelihatan bagus, dan pakaiannya juga yang pasaran gitu deh. Alhasil, panitia penerimaan siswa baru mesti main cerdas cermat untuk memutuskan apakah aktris di depan mereka itu memainkan perannya baik-baik atau tidak.🤣 Bisa jadi panitia keuangan ini kecolongan.

Ironis memang. Di satu sisi, keluarga yang miskin pasrah pada keputusan pihak sekolah dan berusaha sebisa mungkin membayar biaya, seberapa pun jumlah yang ditetapkan sekolah. Di sisi lain, keluarga yang secara ekonomis kuat berusaha sebisa mungkin menekan jumlah uang yang harus dibayarkan kepada pihak sekolah. Ini bukan dalil umum, tetapi sekurang-kurangnya tendensi itu ada: orang tua sederhana berusaha sekuat tenaga membayar sampai batas kemampuannya demi menyekolahkan anaknya, orang tua tajir berusaha sebisanya supaya bisa membayar uang untuk sekolah serendah mungkin!

Teringatlah saya pada ironi yang disodorkan Leopardi, filsuf penyair Italia abad ke-18: People are ridiculous only when they try or seem to be that which what they are not. Tolong terjemahkan sendiri ya, mesin penerjemah saya sedang malas. Leopardi ini juga konon mengatakan begini: It is curious to see that almost all men who are worth a lot have simple manners and that simple manners are almost always taken as a clue of little value. Lalu saya jadi ingat pada sosok Steve Jobs, yang malah tidak mengizinkan anaknya menggunakan gawai ciptaannya, sementara banyak anak di seluruh penjuru dunia justru berlomba-lomba menguasai gawai bikinan Steve Jobs yang diberikan orang tua mereka.

Itu memang perkara rumit juga karena, seperti dikatakan Leopardi, children find everything in nothing; men find nothing in everything. Karena rumit, saya tak usah nimbrung dan kembali ke teks bacaannya saja. Jebulnya, teks bacaannya juga gak gampang.😂 Oalah, Mo, uripmu kok angel ta?
Guru dari Nazareth mengumpamakan Kerajaan Allah, yang bukan surga kelak di kemudian waktu entah kapan, sebagai biji sesawi yang begitu kecil dan kemudian tumbuh kokoh dan bisa jadi tempat bernaung bagi ciptaan lain. Selain itu, diumpamakannya juga Kerajaan itu sebagai ragi yang punya pengaruh luas.

Saya tak tahu apakah kedua pengumpamaan itu bisa dimampatkan ke dalam konsep ‘karakter’. Ini hanya asumsi saya, bisa keliru. Karakter mencakup elemen proses yang lama untuk bertumbuhnya dan lebih berpengaruh luas daripada polesan kepribadian tertentu. Dalam kasus yang saya singgung di awal, orang tua miskin yang berusaha keras menyekolahkan anaknya dengan seluruh kekuatan finansialnya lebih mencirikan karakter daripada orang tua berduit yang adu acting demi menekan biaya pendidikan anaknya. Apa maksudnya ‘lebih mencirikan karakter’? Lebih berbunyi sebagai Kerajaan Allah, lebih menyentuh hati orang yang percaya bahwa ada yang abadi dalam hidup fana ini.

Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami jadi khamir keabadian cinta-Mu. Amin.


SELASA BIASA XXX A/2
27 Oktober 2020

Ef 5,21-33
Luk 13,18-21

Selasa Biasa XXX A/2 2018: Micin Ganti Presiden
Selasa Biasa XXX C/2 2016: Tak Ada Selain Dirimu